Antara Kebebasan dan Kehormatan: Menimbang Ulang Adab di Tengah Badai Media

Ilustrasi.
Ketika ruang publik makin bebas, adab justru menjadi barang paling langka yang perlu diselamatkan.

Redaksi

Program Xpose Uncensored yang tayang di Trans7 pada 13 Oktober 2025 berbuntut panjang. Episode yang dinilai melecehkan pesantren dan kiai sepuh memicu reaksi keras dari kalangan santri dan masyarakat luas.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera menjatuhkan sanksi suspensi. Sementara itu, Direktur Trans7 Atiek Nur Wahyuni menyatakan di DPR bahwa program tersebut dihentikan permanen dan kerja sama dengan rumah produksi diputus pada 14 Oktober.

Namun, bagi kalangan pesantren, urusannya tak selesai di situ. “Yang disakiti bukan hanya orang tua kami, tapi juga kehormatan pesantren,” ujar KH Abdul Muid Shohib (Gus Muid) dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, usai menerima permohonan maaf perwakilan Trans7, sebagaimana dikutip dari Antara (15/10).

Hukum dan Adab

Kasus ini bukan sekadar salah tayang. Ia adalah pertemuan dua logika moral yang berbeda. 

Bacaan Lainnya

Di satu sisi, dunia media hidup dalam semangat kebebasan berekspresi dan prosedur hukum. Selama tidak melanggar undang-undang, semua dianggap sah. Bila ada kesalahan, permintaan maaf dan penghentian program dianggap cukup.

Seperti kata Atiek di DPR: “Trans7 sudah menghentikan program itu secara permanen dan memutus kerja sama dengan pihak produksi sejak 14 Oktober.”

Namun di sisi lain, dunia pesantren berpijak pada logika adab dan kehormatan. Dalam pandangan mereka, yang dilanggar bukan hanya etika jurnalistik, tapi tata laku spiritual—rasa hormat terhadap ulama dan ruang suci tempat ilmu ditumbuhkan.

Ketika Adab Menjadi Pondasi Peradaban

Bagi pesantren, adab bukan pelengkap, melainkan pondasi moral peradaban.

KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menulis dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim: “Ilmu tanpa adab adalah kesesatan, dan adab tanpa ilmu adalah kebodohan.”

Maka, ketika dunia media menabrak wilayah adab, yang rusak bukan hanya hubungan sosial, tapi juga barokah—rasa keberkahan yang menjadi inti kehidupan pesantren.

Bagi mereka, menyebut nama kiai sepuh dengan nada mengejek bukan cuma kesalahan etika, tapi bentuk gangguan terhadap keseimbangan moral masyarakat.

Mengapa Sowan Lebih Berarti dari Konferensi Pers?

Langkah perwakilan Trans7 sowan ke Lirboyo disambut baik. Tapi masyarakat pesantren tetap menunggu sesuatu yang lebih simbolik: kehadiran Chairul Tanjung sendiri.

Atiek Nur Wahyuni membenarkan rencana itu: “Bapak Chairul Tanjung akan silaturahim langsung ke Lirboyo untuk menyampaikan permintaan maaf.” (NU Online, 16/10)

Dalam tradisi pesantren, sowan bukan sekadar kunjungan sopan-santun. Ia adalah ritus pemulihan moral. Sebuah cara meminta maaf yang tak cukup diwakili kamera atau tulisan di media sosial. Karena dalam pandangan mereka, kehormatan dipulihkan dengan hadirnya tubuh, bukan sekadar kata.

Adab Bukan Anti-Kebebasan

Membela adab pesantren bukan berarti menolak kebebasan berekspresi. Pesantren tidak alergi kritik; yang mereka jaga adalah cara—bahwa tidak semua ruang layak disentuh dengan gaya sarkas atau satire.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *