Narasi lama berganti wajah. Fitnah terhadap pesantren kini hidup lagi lewat algoritma dan media sosial.
Framing negatif terhadap santri dan pesantren kembali menguat. Lembaga pendidikan asli Nusantara yang selama berabad-abad menjadi benteng moral bangsa itu kini dituduh feodal, sarang bullying, bahkan tempat pelecehan seksual. Narasi-narasi insinuatif semacam ini tampak berjalan sistemik, terstruktur, dan masif—seolah ada dirigen yang mengatur orkestrasi fitnah terhadap pesantren.
Padahal, pola semacam ini bukan hal baru. Jejak fitnah terhadap pesantren sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Dalam arsip koran Java Bode abad XIX, pesantren digambarkan sebagai tempat kebodohan dan takhayul. Strateginya jelas: menjatuhkan martabat pesantren untuk membuka ruang bagi pendidikan “modern” ala Barat, agar rakyat lebih mudah dikendalikan.
Snouck Hurgronje kemudian menyempurnakan taktik itu—memisahkan Islam spiritual dari Islam politik agar pesantren kehilangan daya perlawanan.
Kini, pola yang sama hidup lagi dalam wajah digital. Media sosial dan algoritma memainkan peran yang dulu dijalankan koran penjajah: membentuk persepsi publik. Bedanya, fitnah kini bisa dimonetisasi. Para pembenci menjual ketakutan, membingkai pesantren sebagai sumber masalah, padahal dari pesantrenlah lahir para pejuang, ilmuwan, dan pemimpin bangsa.
Pesantren bukan sekadar warisan masa lalu. Ia adalah fondasi moral Indonesia. Sebelum menghakimi, datanglah dan lihatlah. Karena di balik kesederhanaannya, pesantren sedang menjaga masa depan bangsa.
Selengkapnya di sini.





