Belajar Tanpa Sekolah: Gagasan Pendidikan ‘Ekstrem’ tapi Menarik ala Ivan Illich

Belajar bisa tumbuh di mana saja — dari alam, sesama, dan kehidupan itu sendiri. Inilah dunia pembelajaran tanpa tembok yang dibayangkan Ivan Illich setengah abad lalu. - Ilustrasi
Setengah abad lalu, Ivan Illich membayangkan pendidikan tanpa sekolah — dunia di mana manusia belajar dari hidup, bukan dari sistem yang menstandarkan pikiran.

Oleh: Redaksi Samudrafakta

Bayangkan dunia tanpa sekolah, tapi penuh ruang belajar. Tempat orang bisa belajar dari alam, dari sesama, dari kehidupan nyata — bukan dari buku teks dan ujian yang seragam.

Itulah visi Ivan Illich, pemikir radikal yang pada 1971 mengguncang dunia pendidikan lewat bukunya, Deschooling Society.

Illich memperkenalkan konsep learning webs — jejaring pembelajaran yang hidup dan manusiawi. Dalam sistem ini, setiap orang bebas memilih apa yang ingin dipelajari, kapan, dan dengan siapa.

Teknologi, kata Illich, seharusnya menghubungkan manusia dengan pengetahuan, bukan menjebaknya dalam kurikulum yang kaku.

Bacaan Lainnya

“Belajar tidak memerlukan izin dari lembaga,” tulisnya. “Ia tumbuh dari rasa ingin tahu dan kebebasan untuk gagal.”

Pendidikan sejati, bagi Illich, adalah proses saling belajar di antara manusia — bukan produk massal yang dicetak dalam ruang kelas.

Dari Gagasan Pembebasan ke Kritik Sistem Sekolah

Ide besar itu lahir dari kegelisahan panjang.

Pada akhir 1960-an, dunia sedang mabuk modernisasi. Sekolah dianggap mesin kemajuan, simbol peradaban, dan tiket menuju masa depan. Gedung-gedung dibangun, sistem ujian disusun, dan pendidikan disakralkan sebagai satu-satunya jalan menuju sukses.

Illich, yang saat itu masih seorang imam Katolik dan aktivis sosial, justru melihat sesuatu yang ganjil.

Ia menyaksikan anak-anak miskin di Amerika Latin dan Meksiko terpinggirkan karena tak punya akses ke sekolah formal, lalu dianggap “tidak berpendidikan.”

Dari situ, ia sadar: sekolah bukan lagi tempat belajar, tapi lembaga yang menstandarkan manusia — membuat yang berbeda terasa salah.

Sekolah sebagai Pabrik Sertifikat

Dalam analisisnya yang tajam, Illich menulis: “Murid akhirnya ‘disekolahkan; untuk mengacaukan antara belajar dan mengajar, antara naik kelas dan pendidikan, antara ijazah dan kemampuan.”

Sekolah, katanya, telah berubah menjadi industri sertifikat. Nilai dan gelar dijadikan simbol kecerdasan, sementara rasa ingin tahu tersingkir pelan-pelan.

Kritik ini terasa relevan hingga hari ini. Indonesia masih sibuk dengan ujian, ranking, dan akreditasi. Kurikulum silih berganti, tapi esensi belajar tetap dikurung di ruang formal. Kita bangga pada angka partisipasi sekolah, tapi jarang bertanya: apa yang sebenarnya mereka pelajari di sana?

Ilusi Kemajuan

Dalam bab Ritualisation of Progress, Illich menyingkap mitos besar dunia modern: bahwa semakin banyak sekolah berarti semakin maju.

Menurutnya, itu hanya ritual kemajuan semu — proyek sosial yang memberi legitimasi palsu pada perubahan.

Anak-anak diajarkan untuk patuh pada sistem, bukan berpikir kritis. Guru terseret birokrasi kurikulum. Bahkan universitas berubah menjadi pabrik gelar demi industri tenaga kerja.

Di Indonesia, pola ini tampak jelas: pendidikan dianggap proyek pembangunan fisik, bukan proses pembebasan manusia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *