“Kebijakan itu tidak bisa dipidanakan, gitu. Kebijakan itu adalah konsekuensi dari satu jabatan, gitu ya. Kalau ini terus berlanjut, seperti ini bekas menteri, bekas Dirjen, iya, karena kebijakannya kemudian dipidanakan, orang enggak akan lagi mau jadi pejabat publik,” sambungnya.
Maka dari itu, menurut Abdul Fickar, kasus yang dihadapi Tom Lembong harus menjadi pelajaran bagi semua pihak.
“Saya kira ini pelajaran yang menarik ke depan. Itu enggak bisa sembarangan kejaksaan menetapkan orang, apa, bekas pejabat publik itu ya …karena kebijakannya, kemudian dia kriminalkan, atau dipidanakan,” lanjut Abdul Fikar.
“Kecuali—nah ada kecualinya—memang kecuali bisa dibuktikan bahwa dari kebijakannya itu dia mendapatkan sesuatu. Mendapatkan uang, umpamanya, atau materi lain, ya. Nah, itu kan jelas artinya, kebijakan itu didasari oleh motif yang lain, ekonomi. Motif untuk mencari uang dan sebagainya,” sambungnya.
Sementara itu, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori meminta Kejaksaan Agung untuk memeriksa semua kasus impor pangan setelah menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus impor gula.
Khudori, dalam pernyataan tertulisnya, pada Rabu (30/10), menyatakan bahwa kasus impor pangan sebenarnya tidak hanya terjadi pada gula. Dia merujuk pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pengelolaan tata niaga impor pangan sejak 2015 hingga Semester I 2017, atau dari Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Tom Lembong, hingga Enggartiasto Lukita,. BPK waktu itu menemukan 11 kesalahan kebijakan impor pada lima komoditas: beras, gula, garam, kedelai, sapi, dan daging sapi.
Jika dikelompokkan, kesalahan tersebut terbagi menjadi empat besar. Pertama, impor tak diputuskan di rapat di Kemenko Perekonomian.
Kedua, impor tanpa persetujuan kementerian teknis, yakni Kementerian Pertanian.
Ketiga, impor tak didukung data kebutuhan dan persyaratan dokumen.
Keempat, pemasukan impor melebihi dari tenggat yang ditentukan.