Istilah “Sumpah Pemuda” ternyata baru lahir tahun 1954 — hasil rekayasa simbolik Soekarno dan Yamin untuk menyatukan bangsa yang nyaris terpecah.
Tahun 1954, Indonesia baru sembilan tahun merdeka. Di tengah situasi genting akibat pemberontakan dan gerakan separatis di berbagai daerah, Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan Muhammad Yamin mengambil langkah simbolik yang bersejarah. Mereka menciptakan istilah “Sumpah Pemuda” untuk menggantikan sebutan lama “Poetoesan Congres Pemuda-Pemuda Indonesia” dari tahun 1928. Tujuannya sederhana tapi kuat: menyalakan kembali api persatuan di masa bangsa terancam terbelah.
Dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada 28 Oktober 1954, istilah itu diresmikan dan langsung memperoleh daya magisnya. Padahal, naskah asli tahun 1928 tak pernah memakai kata “sumpah”. Teks yang dimuat di koran Sin Po kala itu hanyalah tiga pernyataan sederhana: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Baru lewat tangan Yamin dan Soekarno, teks itu menjadi sakral dan menggugah—dengan redaksi heroik seperti “bertumpah darah yang satu” dan “bahasa persatuan”.
Lima tahun setelah Indonesia merdeka, Bung Karno mulai memperingati 28 Oktober sebagai Hari Lagu Kebangsaan, lalu menjadikannya simbol ideologis untuk menjaga keutuhan nasional. Sejarawan JJ Rizal mencatat, Yamin memakai istilah “Sumpah Pemuda” secara nasional pertama kali dalam kongres di Medan itu, bertepatan dengan upaya Bung Karno meredam gejolak politik dan separatisme. Bagi Soekarno, Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah—tapi mitos pemersatu bangsa.
Sebagian sejarawan menyebut langkah Soekarno dan Yamin sebagai “rekonstruksi sejarah.” Namun, keduanya justru menyelamatkan makna yang lebih besar. Mereka menjadikan Sumpah Pemuda bukan arsip masa lalu, tapi roh yang terus hidup di setiap generasi Indonesia. Hingga kini, setiap 28 Oktober selalu menjadi pengingat: apakah semangat persatuan itu masih menyala di dada kita?
Selengkapnya baca di sini.





