samudrafakta.com

Soal Ada ‘Tarif’ Kursi Dorong Petugas dan Sudut Pandang yang Berbeda

Ilustrasi.
Artikel penulis berjudul Kursi Roda Bertarif: Ironi Tagline “Haji Ramah Lansia-Disabilitas” (samudrafakta.com, 15 Juni 2024) dinilai sebagai reportase “fitnah” oleh pihak Kementerian Agama (Kemenag) RI. Jubir Kemenag Anna Hasbie mengatakan, “Tulisan Aguk terkait komersialisasi kursi roda jelas fitnah. Itu menciderai perasaan ribuan petugas haji yang secara tulus melayani jemaah.”

Tentu, pertama, yang patut dipertanyakan adalah sumber kata “komersialisasi” itu dari mana? Karena judul opini-investigasi itu adalah “ada kursi roda bertarif.” Sekali lagi, “ada” bukan berarti “semuanya”. Apalagi sampai komersialisasi terukur.

Tampaknya komentar Anna itu disandarkan pada berita yang mencuplik isi opini penulis, lalu memberinya judul “komersialiasai”, diambil dari penulis reportase saudara Ismail di kabarcirebon.com. Dan ini jelas bukan dari penulis sendiri.

Kedua, fenomena ada kursi roda bertarif dari petugas itu dianggap telah menciderai petugas. Sampai di sini sungguh membuat penulis bingung: kenapa dianggap menciderai? Bukankah petugas mendorong lansia perbuatan yang amat mulia?

Karena, pada faktanya, jemaah lansia secara psikis lebih nyaman didorong saudaranya sendiri sesama bangsa dan bahasa mereka, ketimbang orang lokal-Arab. Karena itu, pekerjaan ini sejak dahulu — ketika penulis menjadi mahasiswa di Timur Tengah – terasa sangat membanggakan. Bahkan, saking bangganya, kami terbiasa menyebut Rado (Raja Dorong) dan Pejuang Dorong Lansia (PDL).

Tidak sedikit pula, berawal dari kisah dorong ini, mahasiswa Timur Tengah yang tadinya menjadi Rado diambil menjadi menantu cucu dari lansia itu. Karena itu, penulis tidak pernah ragu bahwa ada tarif jasa kursi dorong dari petugas. Karena memang faktanya demikian yang penulis temui bersama tim pengawas.

Baca Juga :   Kisah Mbah Tono, Pemulung Asal Ponorogo yang Bisa Naik Haji

Bahkan, jika saudari Anna mau bertanya secara acak kepada petugas hitam-putih (khususnya temus mahasiswa), kisah itu sangat mudah didapatkan. Bahkan, bukan lagi “ada” atau “pernah”, pertanyaan bisa langsung dengan, “sudah berapa kali mereka sudah mendorong lansia, baik dari hotel ke masjidil haram atau dari terminal bus solawat ke masjidil haram?” Karena, sekali lagi, bagi kami, yang pernah di posisi itu, sungguh merasa terhormat menjadi pendorong lansia. Ini pekerjaan mulia dan membanggakan!

Berikutnya: Kenapa dalam tulisan tersebut penulis sedikit mempermasalahkan?

Pertama, karena haji tahun ini mengusung tagline secara masif, “Haji Ramah Lansia”. Jadi, ekpektasi penulis sejak tagline ini turun menyangkanya fasilitas kursi dorong untuk lansia dan difabel sudah ditangani oleh pemerintah. Karena, nyatanya, memindahkan kursi ekonomi ke bisnis untuk lansia dan difabel saja bisa, maka secara logika memberi pelayanan gratis kursi dorong juga jauh lebih bisa.

Alasan kedua tentu saja karena anggaran operasional penyelanggaraan haji tahun ini meningkat hampir dua kali lipat.

Karena itu, tulisan reportase penulis yang yang disebut “fitnah” oleh Kemenag tersebut diawali dengan apresiasi beberapa hal yang luar biasa. Hanya menyisakan keganjalan soal masih ada praktik kursi dorong dari petugas.

Baca Juga :   Menag Usul Biaya Haji Rp69,1 Juta per Jamaah, Kegiatan Dimulai 23 Mei

Namun demikian, tetap harus dihargai pandangan dan tuduhan “fitnah” dengan kalimat sarkasme Jubir Kemenag semacam itu, karena memang masing-masing posisi menentukan penilaian. Apalagi praktik tarif dari jasa dorong jika dilakukan oleu petugas itu melanggar prosedural.

Di sinilah masalahnya, ketika kebenaran etis bertemu dengan pelanggaran prosedural, sebagaimana laporan Adi Prinantyo berjudul Jerat Jasa Kursi Roda Rugikan Jemaah Haji hingga Jutaan (Kompas, 11 Juni 2023). Ini menandakan masalah tarif jasa kursi roda masih menjadi polemik, tak terkecuali tahun ini.

Bagi penulis pribadi, opini investigasi tersebut sudah sesuai nalar ilmiah. Pertama, sebagai seorang akademisi, pasti melakukan pencarian data lapangan, sehingga mendapatkan temuan. Selanjutnya, tentu tidak cukup menyandarkan diri pada data awal, tapi butuh upaya konfirmasi dan validasi, dengan mengkonfirmasi subjek pelaku.

Sebagai Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji 2024, sangat memungkinkan untuk menemukan fakta baru di lapangan. Kebetulan saja, tugas Timwas adalah pengumpulan data dan analisa data itu sendiri.

Karena tujuan Timwas itulah — dalam artikel penulis yang dianggap “fitnah” itu — dikatakan dengan tegas bahwa penulis bersama rombongan Timwas melakukan kunjungan dan pengecekan ke terminal Syib Amir, tanggal 11 Juni 2024. Itu artinya tidak mengandalkan asumsi, melainkan pengecekan lapangan. Datanya ada, objek dan subjeknya juga ada. Kebetulan saja kesimpulannya tidak jauh berbeda dari pengalaman yang ada.

Rasanya sangat penting menjelaskan perbedaan sudut pandang antara penulis dengan saudari Anna. Karena penulus merupakan bagian dari tim pengawas, di mana kami sama-sama mengemban tugas negara untuk memberi evaluasi kepada publik. Sehingga ke depan perlu ada peningkatan pelayanan.

Baca Juga :   Ini Rangkaian Tahapan Kegiatan Penyelenggaraan Ibadah Haji 2023

Sementara saudari Anna adalah bagian dari pelaksana tugas. Posisi pengawas dan petugas terikat secara administratif dan moril. Andaikan bisa memilih, penulis ingin bagian dari petugas di lapangan melayani jamaah lansia seperti melayani ibu kandung sendiri. Tetapi, inilah jalan takdir.

Karena itu penulis sadar, menjadi anggota pengawas sangat berisiko. Sebab, berhadap-hadapan dengan pejuang yang sudah memberi pelayanan jauh meningkat dari tahun ke tahun, terkhusus pada tahun ini.

Kiranya bisa dimaklumi dan dimaafkan ada hal-hal yang dirasa menyakitkan. Di luar itu, penulis berharap semua pihak bisa menerima masukan dari tulisan tersebut, sebagai kebenaran-subtantif, yaitu semoga pelayanan kursi dorong pada lansia dan difabel pada tahun yang akan datang bisa digratiskan.

Terakhir, Imam Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah hadis sahih, di mana Rasulullah Saw. bersabda: “Wa allaa akhaafu fillahi lawmata laaim (Dan aku tidak akan pernah gentar menghadapi hujatan dari siapa pun ketika menyangkut kebaikan)”. (Muhammad bin Ismail Al-Shan’ani, Manzhumah Bulughil Maram, hlm. 195).

Wallahu’alam bishawab. (*)

PENULIS adalah Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta, Stafsus Pimpinan DPR RI bidang Kokesra dan Anggota Tim Pengawas Haji 2024.

Artikel Terkait

Leave a Comment