Setelah membangun rumah dan surau, kakak-beradik ini pergi ke Kadilangu, Demak, untuk menjenguk dan menjemput keluarga mereka. Setelah itu Kiai Ahmad Syuhada kembali ke Losari bersama istrinya.
Kiai Ahmad Syuhada mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan pada masyarakat di sekitarnya di surau sederhananya. Di tempat itu, Kiai Syuhada’ mengajar santri-santrinya agar mempunyai jiwa patriotik atau cinta tanah air—karena dalam ajaran Islam-cinta tanah air sebagaian dari iman. Para santri juga diajarkan akhlaqul karimah atau keluhuran budi pekerti.
Rumah tinggal dan langar Kiai Syuhada’ dinamakan Pesantren Kedungturi. Keberadaannya hanya dikenal oleh orang-orang pribumi. Dinamakan Kedungturi karena di tanah bekas rawa itu banyak ditanami pohon turi.
Dengan pengalaman dan riyadah Kiai Ahmad Syuhada, Pesantren Kedungturi bisa bertahan kendati polisi-polisi Belanda sering mengadakan patroli di daerah sekitarnya. Pesantren Kedungturi kemudian tidak terdengar lagi setelah Kiai Syuhada wafat pada tanggal 7 Rabi’ul Awal 1323 H/12 Mei 1905.
Perjuangan Kiai Ahmad Syuhada diteruskan oleh putra ke-4-nya, yaitu Kiai Abdul Mu’thi. Sekitar tahun 1948, Kiai Mu’thi merintis pembangunan masjid untuk menggantikan surau yang dibangun ayahnya. Masjid tersebut masih berdiri hingga kini, dan masih dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.
Perjuangan Kiai Abdul Mu’thi tidak berlangsung lama. Dia wafat pada 21 Syawal 1367 H. Perjuangannya dilanjutkan oleh Kiai Abdul Aziz, putra ke-6 Haji Abdul Mu’thi.
Setelah Kiai Abdul Aziz wafat, perjuangannya dilanjutkan oleh adiknya, Kiai Moch. Muchtar Mu’thi, putra ke-12 Kiai Abdul Mu’thi. Nama terakhir ini merupakan Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah.