Dengan demikian, jauh sebelum datangnya Wali Songo ke tanah Jawa, rupanya Islam sudah ada, terutama di Jawa Timur. Sebagai pembanding, Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 882 H/1419 M. Bahkan, para peneliti, setelah melakukan penelitian selama beberapa tahun, termasuk meneliti tradisi lisan di lingkungan masyarakat Leran, memiliki anggapan bahwa Gresik merupakan pusat agama Islam tertua di Jawa Timur—karena tidak ada bukti arkeologi yang lebih tua dibanding makam Sayyidah Fatimah binti Maimun.
Di balik bidang batu nisan Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475 H/495 H itu terdapat petikan ayat al-Qur’an Surah Al-Rahman ayat 55. Petikan ayat al-Qur’an tersebut ditulis dengan huruf kufi. Menurut Hasan Muarif Ambary dalam Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, petikan ayat Al-Qur’an tersebut memiliki korelasi kuat dengan aliran pembawa agama Islam awal di Indonesia.
Dari kajian epigrafis terhadap makam Fatimah binti Maimun, dapat ditelusuri bahwa jenis huruf kufi yang ditulis dan bahan batu nisan memiliki kesamaan dengan sebuah makam kuno di Pandurangga ( Panh-Rang), di wilayah Champa, Vietnam bagian selatan. Kedua batu nisan bertuliskan kufi itu merupakan bukti arkeologis tertua kehadiran Islam di Asia Tenggara pada abad ke-5 H/ke-11 M.
Angka tahun 475 H atau 495 H jika dikonversi dengan tahun Masehi bertepatan dengan tahun 1082 atau 1102 Masehi. Menurut Jere L. Bacharach dalam The Middle East Studies Handbook, tanggal 1 Muharram 475 H sama dengan 1 Juni 1082 M. 1 Muharram 495 H sama dengan 26 Oktober 1101 M. Jika bulan Hijriyah jatuh pada bulan ketujuh atau Rajab, maka bulan Rajab tahun 475 H tepat dengan tahun 1082 Masehi. Sedangkan bulan ketujuh pada tahun 495 H jatuh pada tahun 1101 M. Jadi, pembacaan inskripsi batu nisan makam Fatimah binti Maimun lebih sesuai dengan tahun 475 H.
Berdasar hasil galian arkeologis di Dusun Leran, Desa Pesucian, Manyar, Gresik, di sekitar kompleks makam Fatimah binti Maimun—berupa mangkuk-mangkuk keramik berasal dari abad ke-10 dan ke-11 Masehi—dapat diketahui bahwa di sekitar tempat tersebut pernah tinggal komunitas pedagang yang memiliki jaringan dengan China di utara dan India di selatan serta Timur Tengah.
Menurut Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Pesucian, Kecamatan Manyar (1994-1996), Leran di masa lampau merupakan pemukiman perkotaan dan perdagangan. Di antara pemimpin yang ada pada waktu itu adalah Fatimah binti Maimun. Kata asy-Syâhidah yang tertulis dalam inskripsi bisa dimaknai ‘wanita korban syahid’ seperti ditafsirkan H.M. Yamin, namun bisa juga dimaknai ‘pemimpin wanita’.
Pada satu sisi, bukti galian arkeologis dan inskripsi pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun dapat dihubungkan dengan para migran Suku Lor asal Persia, yang pada abad ke-10 Masehi bermigrasi ke Jawa dan mendirikan pemukiman bernama Loram dan Leran. Itu berarti, Fatimah binti Maimun yang wafat pada hari Jumat, bulan Rajab, tahun 475 H/1082 M itu, bukanlah seorang wanita asing, melainkan wanita kelahiran setempat keturunan pemukim-pemukim awal Suku Lor yang tinggal di Loram dan Leran sejak abad ke-10 M. Tidak jauh di sebelah tenggara Leran terdapat Desa Roma, yang menurut tradisi lisan, nama desa tersebut berasal dari bermukimnya lima orang Rum (Persia) di tempat tersebut pada masa silam.
Sepanjang rentang waktu berabad-abad di tengah komunitas Hindu Buddhis, Dusun Leran pernah menjadi tanah perdikan (sima ri Leran), sebagaimana diterangkan dalam Prasasti Leran dari abad ke-13—prasasti yang terbuat dari tembaga dan disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang menggunakan bahasa Jawa Kuno itu bunyinya sebagai berikut.
“Pahinangi sang hyang sima ri Leran, purwa akalihan wates galengan sidaktan lawangikang wangun, mangalor atut galenganing mangaran si dukut, angalor atut galenganing tambak si bantawan, dumles angalor atut galenging tamba ri susuk ning huluning batwan….mwah rahyangta kutik nguni matengo irikan susuk ri batwan ngaranya.”
Menurut isi prasasti Leran, sima ri Leran adalah tanah perdikan bebas pajak, yang sebagian penduduknya pedagang. Batasnya di sebelah timur berupa gerbang timur; di utara berbatasan dengan padang rumput yang disebut milik Si Dukut; di utaranya pula berbatasan dengan tambak Si Bantawan; dan lurus ke utara berbatasan dengan batu suci tanda sima di ujung batwan. Di tempat suci bernama batwan ini bersemayam arwah suci Rahyangta Kutik.
Berdasar bunyi Prasasti Leran, di area sekitar makam Leran—di mana terdapat makam Fatimah binti Maimun—pada masa Singasari- Majapahit pernah dijadikan daerah perdikan (sima) bebas pajak. Tetapi tidak jelas apa yang disebut susuk ri batwan (tempat suci di batwan), yang dijadikan persemayaman arwah Rahyangta Kutik. Sebab, di Dusun Leran tidak ditemukan bekas reruntuhan candi. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan yang disebut susuk ri batwan itu adalah makam Fatimah binti Maimun, yang identitas keislamannya pada abad ke-13 sudah kurang jelas.
Penduduk Leran dan sekitarnya, yang pada abad ke-13 banyak menganut agama Syiwa-buddha, kemungkinan menganggap makam Fatimah binti Maimun sebagai susuk (tempat suci) di batwan dan almarhumah Fatimah binti Maimun dianggap sebagai arwah suci Rahyangta Kutik—di mana kata “kuti” dalam bahasa Sanskerta bisa bermakna “biara Buddha”, bisa pula bermakna “gubuk”. Di dalam naskah Buddhis berjudul Kunjarakarna, kutik dihubungkan dengan kata dharma kutika kamulan katyagan, yaitu makam suci persemayaman arwah yang mula-mula mendirikan pertapaan. Itu berarti, di tanah perdikan Leran pernah hidup sekumpulan orang-orang di sebuah pertapaan, yang menganggap makam Fatimah binti Maimun sebagai tempat suci.





