samudrafakta.com

Awas, Beberapa Hal Ini Bisa Membuat Ibadah Haji Tertolak

Haji seseorang bisa tertolak jika mengerjakan rukun Islam kelima itu dengan cara-cara yang keliru. FOTO: Ilustrasi
JAKARTA—Ada dua jenis ‘legalisir’ bagi seseorang usai mengerjakan ibadah haji, yaitu mabrur (diterima) atau mardud (ditolak). Bisa jadi ada yang pede ibadahnya pasti mabrur, tetapi ternyata mardud karena melanggar beberapa hal dalam pelaksanaannya—baik disengaja maupun tidak. Apa saja hal-hal yang menyebabkan haji seseorang tergolong mabrur atau mardud?

Rangkaian puncak Haji 1445 H/2024 M selesai. Jemaah haji kembali ke Mekkah setelah selesai menjalankan rangkaian puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina atau Armuzna. Dengan rampungnya puncak ibadah haji, artinya jemaah tinggal menunggu waktu kepulangan mereka ke Indonesia.

Dilansir dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag), jemaah haji akan diterbangkan ke Tanah Air dalam 14 embarkasi mulai Sabtu (22/6/2024).

Setiap tamu Allah Swt sepulang menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Suci pasti mendambakan mendapat predikat haji mabrur. Mabrur berasal dari kata “barra-yabirru-birrun”, yang bermakna “patuh”.

Sedangkan menurut kamus Lisanul Arab, yang ditulis Jamaluddin Muhammad bin Mukarram bin Ali—atau lebih dikenal Ibnu Manzur—lafaz “mabrur” merupakan isim maf’ul yang menunjukkan arti “disikapi baik atau diterima”.

Baca Juga :   Calon Petugas Haji DIY Mengaku Lulus Seleksi tetapi Didiskualifikasi secara Diskriminatif, Begini Fakta Kronologinya

Singkatnya, haji mabrur ialah seorang Muslim yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat Robbaniyyah (ketuhanan)—atau dalam bahasa M. Quraish Shihab (1994: 215), “berbekasnya simbol amalan yang dilaksanakan di Tanah Suci sehingga makna-makna tersebut terwujud dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari.”

Ukuran kemabruran haji tidak dapat dilihat dari gelar haji yang disandang, tetapi dari aktualisasi simbol-simbol kemanusiaan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari. Ukurannya adalah peningkatan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahhatian, keadilan dan sifat-sifat kemanusiaan lainnya setelah menunaikan ibadah haji.

Jika sifat-sifat kemanusiaan itu tidak meningkat secara kualitatif dan kuantitatif, atau bahkan sebaliknya, makin angkuh, sombong dan membanggakan diri, tentu saja semua pengorbanannya untuk beribadah haji menjadi sia-sia di hadapan Allah—bahkan juga di hadapan manusia.

Artikel Terkait

Leave a Comment