Dua lembaga riset, Indostrategi dan Celios, kompak menempatkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebagai menteri dengan kinerja paling buruk sepanjang satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran.
Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Indostrategi merilis hasil evaluasi satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menempati posisi teratas sebagai menteri dengan rapor kinerja paling jeblok.
“Peringkat pertama yang harus di-reshuffle itu adalah Pak Bahlil,” ujar Peneliti Celios, Media Jayadi Askar, saat memaparkan hasil survei bertajuk Pembagian Rapor Kinerja 1 Tahun Prabowo-Gibran secara daring, Ahad (19/10).
Dalam survei Celios, Bahlil mendapat skor -151, menandakan penilaian paling rendah dibanding menteri lainnya. Nama-nama lain yang masuk daftar menteri berkinerja buruk adalah Natalius Pigai, Raja Juli Antoni, Fadli Zon, Widiyanti Putri, dan Supratman Andi Agtas.
Survei Celios digelar pada 2–17 Oktober 2025 dengan melibatkan 1.338 responden, termasuk 120 jurnalis dari 60 perusahaan pers. Metode yang digunakan adalah multistage random sampling dengan sistem penilaian berbasis poin: tiga poin untuk peringkat pertama, dua untuk kedua, dan satu untuk ketiga. Hasil akhir dihitung dari selisih skor antara menteri berkinerja terbaik dan terburuk.
Penilaian dilakukan berdasarkan enam indikator utama: pencapaian program, kesesuaian kebijakan dengan kebutuhan publik, kepemimpinan dan koordinasi, tata kelola anggaran, komunikasi kebijakan, serta penegakan hukum. Data dikumpulkan secara digital lewat Facebook dan Instagram, dengan pembobotan statistik agar representatif terhadap demografi nasional menurut BPS.
Temuan senada datang dari lembaga Indostrategi. Dalam risetnya, Direktur Indostrategi Ali Noer Zaman menyebut Bahlil juga menempati posisi terbawah dalam evaluasi kinerja menteri.
Meski begitu, ia menilai ada sisi positif di Kementerian ESDM, terutama program hilirisasi mineral dan pertambangan serta penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang disebut mampu menekan aktivitas tambang ilegal.
Namun, sejumlah faktor negatif tetap membayangi. Isu kerusakan lingkungan, ketergantungan tinggi pada batu bara, dan lemahnya komunikasi publik membuat kinerja Bahlil dinilai buruk.
“Komunikasi publiknya retoris dan tak diimbangi eksekusi konkret di lapangan,” ujar Ali Noer Zaman dalam laporan evaluasi kinerja menteri, Jumat (17/10).
Riset Indostrategi menggunakan metode purposive sampling dengan 424 responden dari 34 provinsi, meliputi kalangan guru, dosen, aktivis, karyawan, hingga pengusaha berpendidikan minimal S1. Selain wawancara langsung, analisis juga mencakup berita daring-luring, dokumen resmi pemerintah, serta pandangan akademisi dan pengamat.
Baik Celios maupun Indostrategi menilai, hasil survei ini menjadi cermin awal bagi publik tentang siapa saja yang benar-benar bekerja, dan siapa yang hanya pandai berpidato.***





