Terlepas dari hal tersebut, pemberontakan kepada pemerintahan pendudukan Jepang yang dilakukan oleh Supriyadi menjadi gerakan paling substansial selama Jepang menduduki Indonesia. Peristiwa yang meletus pada tanggal 14 Februari 1945 di Blitar tersebut melibatkan sebagian besar unit personel PETA di bawah kepemimpinan Supriyadi.
Banyak yang mengira Supriyadi tewas dalam perlawanan terhadap Jepang karena tidak pernah terlihat lagi sejak peristiwa itu terjadi. Namun, beberapa tokoh militer meyakini bahwa Supriyadi bersembunyi dan menunggu waktu yang tepat untuk muncul kembali.
Berdasarkan pendapat para tokoh militer tersebut, Supriyadi kemudian diangkat sebagai menteri pertahanan kabinet Indonesia pertama. Informasi dari mata-mata Jepang saat itu menyatakan bahwa Supriyadi melarikan diri ke wilayah Bayah, dan bekerja di tambang batu bara (Malaka, 1991).
Sebuah laporan dari Blitar yang beredar menyatakan bahwa Supriyadi telah kembali ke rumah orang tuanya setelah lebih dari 5 tahun menghilang pasca perlawanan PETA di Blitar. Supriyadi berhasil bersembunyi meskipun militer, polisi, dan warga mencarinya secara intensif di wilayah Jawa dan khususnya di Blitar.
Pihak militer Jepang menjanjikan hadiah yang tinggi bagi siapapun yang berhasil menangkap Supriyadi hidup atau mati. Namun demikian, Supriyadi sulit dilacak keberadaannya. Penduduk yang dicurigai menyembunyikan Supriyadi ketika diinterogasi tidak pernah bisa mengungkapkan di mana Supriyadi berada. Justru beredar kabar luas bahwa Supriyadi memiliki “kekuatan gaib” yang menyebabkan dia sulit tertangkap (Nieuwe Courant, 12 Oktober 1949).
Presiden Sukarno mengerti bagaimana menempatkan kisah Supriyadi untuk mengerucutkan politik dan gagasannya tentang sebuah bangsa (Anonim, 1968: 250). Oleh karena itu, pada bulan Oktober 1945 Supriyadi diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat sesuai dengan dengan maklumat yang dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia.





