Hal ini disebabkan pembatalan latihan besar yang melibatkan 10 batalion PETA di kota Tuban oleh Supriyadi dan pasukannya (Palmos, 2016: 107). Pada pagi hari tanggal 14 Februari 1945, karena khawatir rencana Supriyadi dan pasukan akan terbongkar, Supriyadi memberi perintah untuk melakukan penyerangan.
Pihak Jepang sedikit kewalahan dan Shimizu Hitoshi meminta pihak Indonesia membujuk para pemberontak untuk menyerah (Satoshi, 2018). Jepang kemudian menangkap 52 anggota PETA di Blitar, 6 di antaranya dieksekusi mati beberapa bulan kemudian di Jakarta. Soewito menjelaskan bahwa Supriyadi ditangkap dan dibunuh dalam perjalanan ke Malang. Namun, penjelasan Soewito tersebut tidak memiliki bukti yang kuat (Palmos, 2016: 107).
Rencana perlawanan tentara Peta Blitar tersebut pernah dikonsultasikan kepada Sukarno yang saat itu sedang mengunjungi orang tuanya di Blitar. Sekelompok perwira di bawah pimpinan Supriyadi menemui Sukarno untuk meminta pendapat dan menyatakan bahwa sedang merencanakan penyerangan terhadap gudang senjata Jepang.
Ketika itu Sukarno meminta kepada para perwira agar mempertimbangkan untung rugi akibat rencana tersebut. Sukarno yang sejak awal kedatangan Jepang menggunakan strategi kooperasi terhadap tentara Jepang mempunyai pendapat berbeda, karena menilai bahwa kekuatan militer pada saat itu masih terlalu lemah jika dipaksakan melancarkan gerakan tersebut. Namun, Supriyadi tetap yakin dan bertekad bahwa aksi pemberontakan tersebut akan berhasil (Sudarmanto, 2007: 257).
Investigasi wartawan Nieuwe Courant pada tahun 1946 menyebutkan bahwa hilangnya Supriyadi menyebabkan masyarakat terbagi menjadi dua kubu. Kalangan intelektual berpendapat bahwa Supriyadi sudah meninggal.
Namun, sebagian masyarakat yakin bahwa Supriyadi masih hidup. Hal tersebut juga dikuatkan dengan apa yang disampaikan ayah Supriyadi, yang saat itu masih memegang jabatan tinggi di Blitar. Ia menuturkan bahwa anaknya masih hidup, tetapi dia tidak tahu persis di mana anaknya berada. (Nieuwe Courant, 12 Oktober 1949).





