Sejarah 14 Februari 1945: PETA Berontak, dan Hilangnya Sudanco Supriyadi

Situasi dan kondisi pasukan Jepang pada saat itu semakin terdesak di setiap medan pertempuran baik di kawasan Pasifik maupun di Filipina. Pasukan Jepang mulai merasa khawatir terhadap keberadaannya di Indonesia karena mulai kesulitan mengendalikan pasukan dan barisan militer yang telah dibentuknya (Setiono, 2008: 540).

Situasi tersebut ditambah kebencian Supriyadi kepada Jepang yang sudah memuncak mendorongnya untuk melancarkan gerakan. Pada tanggal 14 Februari 1945 tentara PETA di Blitar melakukan pemberontakan terhadap tentara pendudukan Jepang di bawah pimpinan Supriyadi (Aning, 2005: 215). Mereka berhasil menyerang gudang senjata dan membunuh beberapa orang serdadu Jepang. Pemberontakan itu timbul karena Suprijadi dan pasukannya sudah tidak tahan melihat kekejaman Jepang yang terus memaksa rakyat menyerahkan berasnya, padahal rakyat sudah menderita kelaparan (Setiono, 2008: 540).

Supriyadi sebagai perwira berpangkat Shodancho berusia 22 tahun yang memimpin pasukan di bawah komandonya telah menyebabkan timbulnya banyak korban di pihak militer Jepang. Perlawanan tersebut juga mengakibatkan beberapa pasukan Supriyadi dipenjara dan dihukum mati (Aning, 2005: 215).

Perlawanan PETA di bawah komando Supriyadi bermula ketika para buruh di sekitar Blitar dimobilisasi oleh tentara Jepang untuk membangun pangkalan. Para buruh tersebut banyak yang sakit karena terjangkit malaria dan disentri disebabkan buruknya perlakukan Jepang. Mereka tidak mendapat cukup makanan, apalagi perlindungan kesehatan. Karena banyak pekerja yang sakit dan bahkan meninggal, maka Jepang mengganti tenaga kerja dengan perempuan dan anak-anak secara paksa.

Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap “janji-janji kemerdekaan” yang diberikan Jepang semakin besar. Apa yang telah dilakukan oleh tentara PETA, khususnya Resimen Blitar, tidak sebanding dengan perlakuan Jepang pada penduduk Blitar (Satoshi, 2018).

Perlawanan yang dilakukan Supriyadi sebenarnya telah melalui perencanaan yang panjang, namun ternyata tidak berjalan dengan baik. Supriyadi merencanakan perlawanan tersebut pada bulan Februari 1944, diawali dengan bergeraknya Supriyadi dan pasukannya ke Malang untuk menduduki sebuah stasiun radio yang sedianya digunakan untuk mengumumkan pemberontakan PETA melawan Jepang. Namun demikian, rencana Supriyadi dicurigai pihak Jepang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *