Sejarah 14 Februari 1945: PETA Berontak, dan Hilangnya Sudanco Supriyadi

Penguasa Jepang menjalankan politik isolasi yang sangat ketat terhadap rakyat Indonesia. Banyak surat kabar yang tidak dibolehkan terbit, kecuali surat kabar yang memang diusahakan oleh pemerintah, karena semua berita yang akan disiarkan harus melewati proses sensor terlebih dahulu. Hal lain yang tidak diperbolehkan ialah mengkritik atau mengecam pemerintah dan tentara Jepang. Siapapun yang berani menentang, mencela, dan melawan kebijaksanaan pemerintah Dai Nippon, akan berhadapan denganĀ  tentara Jepang (Anhar, 2021: 24).

Pemerintah Jepang mulai memikirkan pertahanan wilayah Hindia Belanda yang saat itu telah dikuasai. Dalam rangka menahan dan menghambat gerakan Sekutu, pihak Jepang sangat membutuhkan partisipasi dan bantuan aktif dari rakyat Indonesia.

Agar dapat mempertahankan kepentingannya di Indonesia, Jepang merencanakan pembentukan suatu pasukan teritorial, yaitu tentara pembela di garis belakang atau garis kedua yang anggotanya adalah para pemuda Indonesia di bawah pimpinan dan mendapat bimbingan tentara Jepang. Hal diharapkan dapat membantu tentara Jepang untuk menghemat tenaga pasukannya sendiri guna kepentingan perang (Anhar, 2021: 24).

Untuk itu dibentuklah tentara PETA agar dapat memenuhi tuntutan perang pihak Jepang melawan Sekutu. Bagai para pemuda Indonesia, pembentukan tentara PETA sesuai dengan aspirasi rakyat Indonesia yang didorong oleh rasa kebangsaan dan hasrat kemerdekaan untuk memiliki tentara sendiri.

Pada awal tahun 1943, latihan-latihan dan pendidikan kemiliteran mulai diselenggarakan Pemerintah Jepang untuk rakyat dan para pemuda Indonesia. Selain PETA beberapa organisasi militer juga dibentuk oleh pemerintah Jepang, antara lain Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Seinendan (Barisan Pemuda), dan Heiho (Pembantu Prajurit) (Anhar, 2021: 26-30).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *