Dari aksi massa jutaan orang hingga pengakuan resmi negara-negara besar, dukungan untuk kemerdekaan Palestina kini mencapai puncak sejarah. Pertanyaannya: cukupkah ini mengubah realitas di lapangan?
__________
September 2025 tercatat sebagai momen bersejarah. Portugal dan Prancis resmi mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Pengumuman Prancis bahkan dilakukan langsung di forum PBB—menjadikan pengakuan itu bukan sekadar kebijakan diplomasi, melainkan pernyataan politik global.
Kini lebih dari 150 negara mengakui Palestina. Artinya, mayoritas dunia secara tegas menolak narasi Israel dan sekutunya yang selama ini menahan pengakuan tersebut. Tapi apakah pengakuan ini mampu mengubah situasi di tanah Palestina? Atau sekadar menjadi catatan simbolik?
Jalanan Dunia Bicara Lebih Lantang
Tak hanya di ruang diplomasi, suara rakyat di jalanan justru terdengar lebih menggema. Solidaritas meluber, dari Italia hingga Bangladesh.
Di Italia, mogok umum di 75 kota pada September lalu membuat aktivitas negeri pizza nyaris lumpuh. Semua itu demi satu pesan: hentikan genosida di Gaza.
Di Belanda, ribuan orang turun dalam “Red Line Demonstration” di Den Haag, menuntut Eropa berhenti menutup mata.
Di Asia Selatan, “March for Gaza” di Bangladesh mengumpulkan massa ratusan ribu hingga jutaan orang. Di negara yang bukan pemain besar geopolitik sekalipun, solidaritas rakyat justru lebih lantang dibanding keputusan dingin meja diplomasi.
Politik Global: Dari Dana Darurat hingga Deklarasi
Gelombang solidaritas juga memicu respons politik. Arab Saudi, Spanyol, Inggris, Jepang, dan Prancis membentuk koalisi donor internasional, menyuntik dana darurat ke Otoritas Palestina agar pemerintahan mereka tidak runtuh di bawah blokade dan perang.
Sementara itu, lahir “New York Declaration” yang menegaskan solusi dua negara, gencatan senjata permanen, dan pembebasan sandera. Indah di teks, memang. Tapi di tanah Palestina, realitasnya masih penuh darah dan reruntuhan.