Mulai dari Rp50 ribu untuk bata hingga jutaan rupiah untuk dinding, ribuan orang urunan. Hasilnya: 97 rumah gratis berdiri di 17 provinsi, jadi simbol gotong royong Indonesia.
Dari sumbangan Rp50 ribu untuk sebatang bata hingga Rp4 juta untuk satu meter persegi rumah, ribuan orang berpatungan membangun harapan. Gerakan Rumah Syukur Shiddiqiyyah Fatchan Mubina yang digerakkan OPSHID ini berhasil mewujudkan 97 rumah gratis di 17 provinsi, bertepatan dengan 97 tahun Sumpah Pemuda.
Patungan itu nyata terasa di Sleman, Yogyakarta. Bu Siti, seorang ibu dengan tiga anak, menatap rumah barunya dengan mata berkaca. “Saya tidak pernah bermimpi punya rumah seperti ini,” katanya lirih, Senin (28/10). Rumah reyot yang ia tinggali bersama dua kakaknya kini berganti bangunan permanen, hasil gotong royong orang banyak.
Di Pati, Jawa Tengah, Sherly—bocah lima tahun yatim piatu—bisa tidur nyenyak bersama neneknya yang buruh tani di rumah baru. Di Bekasi, Nenek Rokiyah (70) menutup masa tuanya lebih tenang setelah rumah 3×6 meter yang ditempati enam orang keluarganya diganti bangunan kokoh.
Bahkan di Gorontalo, meski bukan basis OPSHID, sebuah rumah tetap berdiri. Semua itu hasil urunan tanpa batas wilayah.
Gerakan ini menolak menyebut diri sebagai penggalangan donasi. OPSHID lebih suka menyebutnya gotong royong untuk Indonesia Raya. Setiap rupiah yang dikumpulkan dianggap amal jariyah, setiap bata yang dipasang adalah bukti cinta tanah air.
Nama Fatchan Mubina diambil dari QS Al-Fath:1, artinya kemenangan nyata. Filosofinya sederhana: kemenangan sejati bukan soal siapa yang berkuasa, melainkan siapa yang mau peduli. Ketika 97 rumah berdiri, kemenangan itu bukan milik satu orang atau organisasi, melainkan seluruh rakyat yang ikut berpatungan.***