BOGOR – Pada 9 Maret 1960, ancaman mengerikan melayang di atas Istana Bogor. Daniel Alexander Maukar, salah satu pilot terbaik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), menembaki istana menggunakan pesawat tempur Mig-17 F Fresco buatan Rusia yang dikendalikannya.
Aksi nekat ini menjadi ancaman langsung terhadap Presiden Sukarno, yang saat itu dianggap beberapa kalangan telah menjalankan kebijakan pembangunan dan ekonomi yang tidak adil.
Penembakan Istana Bogor ini terjadi di tengah dekade penuh pergolakan antara tahun 1950-1960. Masa itu dipenuhi oleh tuntutan otonomi daerah yang sering berujung pada pemberontakan.
Tidak hanya itu, Presiden Sukarno juga beberapa kali menjadi target pembunuhan, seperti pelemparan granat di Cikini yang merenggut nyawa banyak anak sekolah Perguruan Cikini. Maukar, dalam aksinya, bukan hanya menembaki Istana Bogor, tetapi juga beberapa lokasi penting lainnya.
Ajakan untuk melakukan tindakan ini datang dari Sam Karundeng, anggota Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), yang menambah kuat dugaan bahwa aksi ini terkait dengan gerakan Permesta.
Maukar akhirnya diadili oleh Pengadilan Militer Angkatan Udara di Jakarta. Jaksa militer menjatuhkan hukuman mati kepada Maukar. Pengadilan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Notowidagdo, dengan lima anggota, mengadili Maukar yang kala itu baru berusia 28 tahun.
Di dalam pledoinya, Maukar berdalih bahwa penembakan Istana Bogor adalah “gerakan perdamaian” dan tidak dimaksudkan untuk menyerang Presiden secara langsung.
Namun, vonis pengadilan tetap menyatakan Maukar bersalah dan menilai aksinya sebagai bagian dari gerakan PRRI/Permesta. Maukar divonis hukuman mati. Eksekusi yang direncanakan pada 16 Juli 1960 tidak pernah terlaksana.
Ia dibebaskan setelah mendapat amnesti untuk para pemberontak PRRI/Permesta dari Presiden Sukarno. Hal ini sejalan dengan janji amnesti yang diberikan kepada para pemberontak di Sumatra dan Sulawesi oleh A. H. Nasution, Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia kala itu, jika mereka menyerah sebelum 1 Juni 1960.
Meski demikian, dugaan bahwa Maukar bertindak atas inisiatif sendiri tetap ada. Beberapa pihak percaya bahwa ia bagian dari komplotan yang berusaha membunuh Presiden Sukarno. Alat bukti berupa pesawat dan perangkat senjata yang digunakan Maukar ditemukan dalam kondisi utuh.
Tindakan Maukar ini mendapat berbagai tanggapan, mengingat dia adalah salah satu pilot terbaik kedua di Angkatan Udara Indonesia.