MAGETAN — Pernikahan Nur Hidayat, seorang kepala desa (Kades) di Magetan viral di media sosial. Nur Hidayat menggunakan mahar seluruh hartanya untuk menikahi Sukatin, janda cantik berumur 45 tahun. Harta yang dijadikan mahar berupa rumah, tanah kebun, dan seizin anak sang kepala desa.
“Betul, itu saya yang viral menikah dengan mahar seluruh harta benda saya. Maharnya semua harta saya itu rumah dan tanah kebun,” kata Nur Hidayat dilansir Detik Jatim, Rabu (6/3/2024)
Pernikahan Nur Hidayat dan Sukatin digelar pada Jumat (1/3/2024) lalu. Mereka mengucap janji di Masjid Kecamatan Nguntoronadi, Magetan. Dia mengaku statusnya sebelum menikah yakni duda yang telah ditinggal mati istri sejak dua tahun lalu.
“Kedua anak saya yang pertama sudah berkeluarga dan memiliki 2 anak dan anak nomor dua masih kuliah. Saya menikah sudah persetujuan dua anak saya. Saya punya cucu dua dari anak pertama,” tukas Nur.
Bolehkah mahar pernikahan dengan seluruh harta? Begini penjelasan M. Ishom el-Saha, Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah Uin Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Dikutip dari artikelnya yang diunggah laman Kemenag.go.id, mahar yang di dalam Al-Qur’an disebut dengan “shaduq” adalah maskawin yang diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan untuk menghalalkan berhubungan badan.
Dalam ajaran Islam, lelaki yang menikah dengan maskawin yang dihutang, meskipun sah akad nikahnya, maka hak-haknya sementara waktu boleh tidak dipenuhi oleh istrinya. Terkecuali istri rela atas haknya menerima mahar yang tidak dibayarkan secara tunai oleh suami.
Mahar bukan berarti komersialisasi istri kepada suami, akan tetapi menjadi bentuk komitmen, ketulusan, dan kejujuran, sesuai lafal “shaduq” yang satu akar kata dengan lafal “shidq” dari pihak suami kepada pihak istri. Hal ini dibuktikan dalam Islam bahwa mahar tidak semata-mata berbentuk materi tetapi dapat berupa non materi seperti membacakan dan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu agama lainnya.
Bukti lain mahar bukan komersialisasi perempuan adalah tidak dimasukkannya mahar sebagai rukun nikah, ialah 4 rukun yang terdiri dari mempelai, wali nikah, ijab kabul, dan saksi. Bahkan Rasulullah Saw pernah menasihati sahabat yang tidak mampu secara ekonomi namun kuat syahwat-nya supaya menikah, walaupun dengan mahar dari cincin dari logam biasa. Hal ini mengisyaratkan bahwa perkawinan itu bukan menebus perempuan dengan sejumlah materi, melainkan pertalian cinta kasih atas dasar komitmen pihak suami dengan pihak istri.
Walaupun diakui dalam pemikiran salah satu Mazhab fiqh ada yang memasukkan pokok bahasan kafah dalam perkawinan, namun hal itu lebih didasarkan pertimbangan sosial kemasyarakatan. Misalkan seorang suami diwajibkan memberikan mahar yang senilai dengan mahar yang umumnya dijadikan patokan sebuah keluarga atau klan masyarakat tertentu. Hal itu semata-mata karena Islam menghormati adat masyarakat bukan sebagai ketetapan hukum yang mengikat.