Dalam kurun empat abad ini, citra Syekh Siti Jenar identik dengan stigma negatif terkait kebid’ahan dan kesesatan. Ia digambarkan berasal dari cacing dan jenazahnya berubah menjadi bangkai anjing. Banyak yang meyakini dia dihukum mati oleh sesama wali. Benarkah demikian?
Banyak versi sejarah yang menyebut bahwa Siti Jenar adalah penganut Syi’ah yang datang dari Persia dan berdakwah bersama wali lainnya di tanah Jawa. Dia disebut menggantikan Syekh Sutamaharja—kakak Maulana Ishak atau Sunan Giri—yang dibunuh oleh pasukan Andayaningrat dari Pengging dalam sebuah insiden antara pasukan Islam dengan laskar Majapahit, sekitar tahun 1524 M.
Syekh Siti Jenar memiliki banyak nama, antara lain San Ali (nama kecil pemberian orang tua angkatnya); Syekh Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama); Syekh Jabaranta (nama yang dikenal di Palembang, Sumatera, dan Malaka); Prabu Satmata (berarti “yang tampak oleh mata”; nama yang diperkenalkan kepada murid dan dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yang diberikan masyarakat Lemah Abang, Karawang); Syekh Lemah Uler; Pangeran Panjunan; Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Sunan Kajenar (nama dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873)); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Dalam bahasa Jawa, “jenar” berarti kuning, sedang “brit” berasal dari “abrit” yang dalam bahasa Jawa berarti “merah”, sama dengan “abang” yang juga berarti merah. Dalam beberapa publikasi, nama Syekh Siti Jenar kadang-kadang disebut Syekh Siti Luhung.
Asal-usul Syekh Siti Jenar tak pernah jelas. Para sejarawan belum sepakat soal itu. Walhasil, kisah hidupnya diliputi kisah-kisah kontroversial. Asal-usulnya tergolong “aneh”. Publikasi yang pernah terbit pun sepertinya tak pernah dibuat tuntas. Dia tetap menjadi misteri yang digemari.
Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menuliskan bahwa Siti Jenar adalah putra Syekh Datuk Sholeh, seorang ulama asal Malaka. Dia, menurut Agus Sunyoto, dikenal sebagai tokoh Wali Songo yang memiliki pandangan-pandangan kontroversial di zamannya.
Syekh Siti Jenar dikenal sebagai penyebar ajaran Sasahidan yang berpijak pada konsep manunggaling kawula-Gusti. Dia diyakini sebagai penggagas komunitas baru yang mengubah konsep feodalistik kawulo—hamba-budak—menjadi egaliter melalui pembukaan hunian-hunian baru yang disebut Lemah Abang, yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Karawang. Kemunculan komunitas masyarakat egaliter di dukuh-dukuh Lemah Abang yang dinisbatkan kepada Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang ini kemudian dikenal sebagai “Islam Abangan”.
Sebagian sejarawan menggambarkan bahwa kaum Abangan bukan merupakan binaan para wali penyebar Islam. Mereka didefinisikan sebagai sebuah entitas khusus binaan Syekh Siti Jenar yang membangkang terhadap kekuasan Sultan Trenggono, Raja Demak. Kaum Abangan digambarkan sebagai Islam minoritas, masyarakat yang belum terislamkan secara benar dari sudut pandang fikih. Kaum Abangan pun direpresentasikan sebagai wong cilik yang nyaman dengan “agama” mereka sendiri dan terisolasi dari mayoritas priyayi, apalagi santri. Mereka ditempatkan sebagai masyarakat inferior.
Sementara itu, sebagian sejarawan lainnya meyakini bahwa kaum Abangan pada dasarnya mereka juga merupakan binaan para wali—seperti kaum Wayangan yang dibina Sunan Kalijaga, kaum Bonangan yang dilestarikan oleh Sunan Bonang, kaum Petani binaan Sunan Drajat, kaum Pedagang binaan Sunan Kudus, dan wong cilik yang hidup di tajug atau pesantren dan fakir miskin menjadi binaan Sunan Gunung Jati.
Menurut Babad Demak dan Babad Tanah Jawi—sebagaimana dikutip Agus Sunyoto—Syekh Lemah Abang berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia setelah mendengar wejangan rahasia Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga di atas perahu di tengah laut.