Syekh Ibrahim Samarkandi, Ulama Pra-Wali Songo yang Kenalkan Istilah “Santri”

Dalam naskah Babad Cirebon Br 75a/PNRI, sebagaimana dikutip sejarawan Ahmad Baso, disebut bahwa yang pertama kali menggunakan kata “santri” adalah seorang ulama dari di Champa—sekarang Vietnam Selatan—yaitu Syekh Ibrahim Asmoro. Sebagian besar peneliti sejarah Wali Songo sepakat bahwa dia adalah ayah Raden Rahmat atau Sunan Ampel Raden Rahmat.

Pada abad ke-15—abad yang dipercaya sebagai masa kedatangan Syekh Ibrahim Samarkandi—Champa merupakan salah satu pusat Islamisasi Asia Tenggara, termasuk Nusantara.

Dalam sejumlah kajian historiografi Jawa, Syekh Ibrahim Samarkandi—kadang juga ditulis as-Samarqandi—acapkali disamakan dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Banyak yang salah paham karena nama keduanya sama-sama ada “Ibrahim”-nya. Padahal, sudah banyak kajian sejarah yang menyatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berbeda dengan Ibrahim Samarkandi.

Maulana Malik dipercaya berasal dari kawasan Maghribi, Maroko, dan wafat di Gresik pada 1419 M; sedangkan Ibrahim as-Samarqandi atau Samarkandi betasal dari Samarkand, Asia Tengah, dan datang ke Jawa pada pertengahan 1440-an M. Makam Maulana Malik Ibrahim ada di Gresik, sedangkan makam Syekh Ibrahim Samarkandi di Tuban.

Bacaan Lainnya

Syekh Ibrahim Samarkandi lahir dengan nama Sayyid Ibrahim al-Ghozi. Babad Tanah Jawi menyebutnya dengan nama Makdum Ibrahim Asmoro atau Maulana Ibrahim Asmoro. Sebutan ini mengikuti pengucapan lidah Jawa dalam melafalkan as-Samarqandi, yang kemudian berubah menjadi Asmorokondi.

Sedangkan menurut Babad Ngampeldenta, Syekh Ibrahim Samarkandi—yang juga dikenal dengan sebutan Syekh Molana—adalah penyebar Islam di negeri Champa, yang berdakwah di Gunung Sukasari. Di dalam naskah Nagarakretabhumi, Ibrahim Samarkandi disebut dengan nama Molana Ibrahim Akbar bergelar Syekh Jatiswara.

Nagarakretabhumi juga menyebut bahwa Molana Ibrahim Akbar adalah ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah, dua bersaudara yang kelak dikenal dengan sebutan Raja Pandhita dan Sunan Ampel. Selain itu, di kalangan masyarakat Jawa, Ibrahim Samarkandi juga dikenal dengan nama Raja Pandhita, Sayyid Haji Mustakim, Makdum Brahim Asmara, Maulana Ibrahim Asmara, atau Imam dari Asmara.

Syekh Ibrahim Samarkandi—sesuai namanya—diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh kedua abad ke-14. Menurut Babad Cerbon, Ibrahim Samarkandi adalah putera Syekh Karnen dari negeri Tulen. Jika Babad Cerbon ini otentik, berarti Syekh Ibrahim Samarkandi bukan penduduk asli Samarkand, melainkan seorang migran yang orang tuanya pindah ke Samarkand. Pasalnya, Tulen yang ditulis dalam Babad Cerbon merujuk Tyulen, kepulauan kecil di tepi timur Laut Kaspia yang masuk wilayah Kazakhtan—di arah Barat Laut Samarkand.

Era migrasi Ibrahim Samarkandi diperkirakan terjadi pada era Dinasti Timurid (1370 M1506 M). Ketika itu Samarkand, terutama di bawah kekuasaan Timur Lenk (1336-1405 M), tidak hanya menjadi pusat perkembangan Islam, tetapi juga pusat seni arsitektur, ilmu sekuler modern. Samarkand juga memainkan peran penting dalam perdagangan di Asia, dan merupakan kawasan perdagangan strategis yang menghubungkan dua benua.

Ulugh Bek (1409–1499), yang menggantikan Timur Lenk, terkenal karena memiliki pengetahuan yang dalam dan luas tentang Islam serta peran aktifnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya melalui perguruan tinggi—yang biasa disebut madrasah di Samarkand.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *