Sebelum Dinasti Ottoman atau Kerajaan Turki Utsmani berdiri di Turki pada 699 -1341 H/1385-1923 M, di belahan dunia bagian timur—di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) saat ini—telah muncul sebuah kerajaan Islam bernama Samudra Pasai. Jika puncak kekuasan Utsmani sampai pada tahun 1385 M, Samudra Pasai sudah lebih dulu berjaya pada 1267 M, ketika kerajaan ini dipimpin seorang wali bernama Sultan Malik al-Shalih.
Sultan Malik ash-Shalih, yang makamnya terletak di Kecamatan Samudra, Aceh Utara, adalah Raja Pasai pertama. Dia punya peran penting dalam pengembangan dakwah Islam di Nusantara. Samudra Pasai sendiri, menurut pendapat banyak ahli sejarah, merupakan pusat sejarah Islam pertama di wilayah Asia Tenggara.
Sultan Malik al-Shalih lahir di Nagur, Tanah Gayo, Aceh, pada abad ke-13 M. Nama kecilnya adalah Meurah Silu atau Marah Silu. Ia merupakan keturunan suku Imam Empat atau Sukee Imeum Peuet—sebutan bagi suku keturunan empat maharaja atau meurah bersaudara dari Champa. Suku tersebut diyakini sebagai pendiri kerajaan-kerajaan di Aceh pra-Islam.
Sultan Malik bertahta di Samudra Pasai selama 30 tahun, sepanjang tahun 1267 – 1297. Ada juga riwayat yang menjelaskan bahwa Sultan Sultan Malik al-Shaleh naik tahta setelah diangkat oleh Laksmana Laut dari Mesir bernama Nazimuddin al-Kamil. Samudra Pasai sendiri merupakan gabungan dari dua kerajaan, yaitu Kerajaan Samudra dan Kerajaan Pasai.
Keberadaan kerajaan ini dibuktikan dengan ditemukannya bukti arkeologis berupa makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat Kerajaan Samudra di Desa Beuringin, Kecamatan Samudra, sekitar 17 kilometer sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut terdapat nama Sultan Malik al-Shalih. Inskripsi pada makam Sultan Malik menunjuk bahwa dia wafat pada bulan Ramadhan tahun 696 H/1297 M.

Sementara itu, di Desa Leubok Tuwe, Kecamatan Meurah Mulia, dan Desa Matang Ulim, Kecamatan Samudra, ditemukan total tiga batu nisan bertulisan, yang diyakini menjadi saksi bisu awal berdirinya Kesultanan Samudra Pasai. Perihal tiga batu nisan ini dibahas dalam buku Tinggalan Sejarah Samudra Pasai, terbitan Center for Information of Samudra Pasai Heritage (CISAH).
Dalam buku itu tertulis, tiga batu nisan tersebut membuktikan bahwa Kesultanan Samudra Pasai berdiri pada abad ke-13 M atau abad ke-7 H. Ketiga nisan memuat epitaf atau keterangan tentang orang yang dimakamkan di situ—menerangkan bahwa orang tersebut merupakan tokoh yang dicintai oleh hati orang banyak atau mahbub qulub al-khalaiq.
Catatan di batu nisan juga menyebutkan jika dua tokoh yang dimakamkan di Leubok Tuwe meninggal pada tahun 622 H atau 1226 M; sementara tokoh di Matang Ulim meninggal pada 676 H atau 1278 M.
Pada ketiga nisan tersebut terdapat kata “As-As’id”. Dari epitaf tersebut, maka dapat diketahui jika ketiganya merupakan penguasa Samudra Pasai sebelum Sultan Malik al-Shalih. Buku terbitan CISAH itu juga memuat legenda tentang Meurah Silu, yang setelah memeluk Islam berubah nama menjadi Malikussaleh—kemudian dikenal sebagai Malik al-Shalih.





