Sayangi Istri dan Keluargamu, Dukung Capres-Cawapres Sewajarnya

Kontestasi Pemiihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), menurut  sebagian kalangan, hanyalah pertarungan para elite politik untuk mengejar kursi kekuasaan. Namun, tak jarang pesta lima tahunan itu meninggalkan residu yang sungguh mengerikan. Pesta yang acapkali menularkan emosi dan memantik pecah belah kepada masyarakat yang sudah tenggelam pada pilihan politiknya. Bahkan, kadang bisa menganggu lingkup terkecil: ketahanan keluarga.

Berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA), pada 2009, tingkat perceraian karena persoalan politik mencapai 402 kasus. Lalu, pada 2010, berkurang menjadi 334 kasus. Pada 2011, kasus perceraian yang dilatarbelakangi persoalan politik mencapai 650 kasus.

Angka perceraian cukup tinggi karena persoalan politik terjadi pada tahun 2015, atau setahun setelah Pemilu 2014. Angkanya mencapai 21.193 kasus. kasus cerai karena beda politik paling tinggi di Jawa Timur, yaitu sebanyak 221 pasangan. Disusul Jawa Barat sebanyak 51 kasus perceraian, dan di tempat ketiga Jawa Tengah sebanyak 36 kasus perceraian.

Di Riau ditemukan 13 kasus perceraian karena beda pandangan politik. Adapun Sumatera Selatan, Papua dan Sulawesi Selatan masing-masing 2 kasus. Sedangkan di Aceh, Bengkulu, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah dan dan Nusa Tenggara Barat 1 kasus perceraian.

Sepanjang tahun 2019 terdapat 480,6 ribu kasus perceraian. Jumlah ini 79,44 persen dari total yang mengajukan perceraian yakni 604.997 kasus. Kasus perceraian tersebut, lebih banyak diajukan dari pihak istri (cerai gugat) yang mencapai 355.842 kasus. Sedangkan kasus perceraian yang diajukan dari pihak suami (cerai talak) mencapai 124.776 kasus.

Bacaan Lainnya

Namun Badan Peradilan Agama MA tidak memerinci detal berapa kasus perceraian karena perbedaan pilihan politik (capres-cawapres). Angka perceraian pasangan suami istri (pasutri) karena perbedaan pilihan politik bisa jadi meningkat di Pemilu 2024.

Perbedaan preferensi dalam memilih calon presiden dan wakil presiden pada dasarnya merupakan hal yang lumrah terjadi. Namun, perbedaan ini tak seharusnya menimbulkan perselisihan dan pertengkaran di dalam keluarga. Masyarakat Indonesia tidak perlu terlalu mati-matian dan membabi-buta mendukung pasangan capres-cawapres di Pilpres 2024. Mari belajar dari pengalaman pasca Pilpres 2019, ternyata angka penceraian tinggi karena perbedaan dukungan calon antara suami dan istri.

Di tahun politik seperti saat ini, diskusi mengenai capres dan cawapres bisa muncul dalam beragam situasi. Misalnya, saat sedang berkumpul dan makan bersama istri dan anggota keluarga. Sayangnya, perbedaan pendapat yang muncul saat diskusi bisa membuat hubungan keluarga ikut terdampak. Agar terhindar dari situasi seperti ini, ada lima hal yang perlu dilakukan saat berdiskusi politik dengan keluarga sebagaimana dilansir VerywellFamily pada Senin (8/1/2024):

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *