Saatnya Dunia Kembali Berputar dari Timur, Mari Tulis Ulang Sejarah yang Direbut Barat

Ilustrasi.
Selama berabad-abad, Barat menulis dunia dari sudut pandangnya sendiri—padahal peradaban sejati pernah bersinar lebih dulu dari Timur: dari Samarkand hingga Borobudur, dari Baghdad hingga Nalanda.

Kita bukan bangsa yang tertinggal — kita hanya bangsa yang narasinya direbut. Sejarah yang kita pelajari di sekolah sering dimulai dari Yunani dan Roma, seolah peradaban baru lahir di Barat.

Padahal, jauh sebelum Renaisans, Timur sudah lebih dulu menyalakan obor pengetahuan. Dari Tiongkok yang menciptakan kertas, kompas, dan mesin cetak; hingga Laksamana Zheng He yang menjelajahi samudra berabad-abad sebelum Columbus berlayar.

Di masa ketika Eropa tenggelam dalam dogma, dunia Islam justru menjadi pusat ilmu pengetahuan. Baghdad, Cordoba, dan Samarkand menjadi mercusuar peradaban.

Al-Khwarizmi menulis al-jabr yang melahirkan algoritma. Ibnu Sina menulis Canon of Medicine yang menjadi acuan Eropa selama enam abad. Dan para astronom Muslim menghitung gerak planet dengan akurasi yang baru dipahami Galileo. Namun, nama-nama besar itu jarang diingat, karena sejarah ditulis dari sudut pandang Barat.

Bacaan Lainnya

Dari India lahir angka nol, konsep kecil yang mengubah dunia. Dari Nusantara, nenek moyang kita menembus samudra tanpa peta, membaca bintang dan arus laut untuk menjelajah benua. Borobudur berdiri bukan sekadar candi, tapi peta spiritual tentang perjalanan manusia menuju pencerahan.

Timur tidak pernah tertinggal — hanya terlupakan, karena sejarahnya disunting oleh tangan-tangan kolonial yang menulis dunia dengan bahasa kekuasaan.

Kini saatnya kita menulis ulang cerita kita sendiri. Dunia harus tahu bahwa peradaban tidak berawal dari Barat, tapi pernah berputar dari Timur — dari Samarkand hingga Borobudur, dari Nalanda hingga Majapahit.

Selengkapnya baca di sini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *