Refleksi Buya Syakur Yasin: Puasa untuk Orang Mukmin, Bukan ‘Sekadar’ Islam

Ilustrasi KH. Abdul Syakur Yasin atau Buya Syakur. (SF)
Ramadhan sebentar lagi. Yang diwajibkan berpuasa oleh Allah Swt. di Bulan Suci ini adalah mukmin, bukan ‘sekadar’ muslim.

Menurut almaghfurlah KH. Abdul Syakur Yasin, yang akrab dipanggil Buya Syakur, dalam QS. Al-Baqarah: 183, Allah memanggil orang-orang yang beriman untuk diberitahukan bahwa puasa itu wajib.

Yā ayyuhal-lażīna āmanū kutiba ‘alaikumuiyāmu kamā kutiba ‘alal-lażīna min qablikum la‘allakum tattaqūn(a). (Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa (aṣ-ṣiyām) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa).”

Kenapa yang dipanggil bukan “orang Islam” atau “muslim”?

“Allah tidak memanggil, ‘ya ayuhaladzina aslamu’, karena orang Islam belum tentu siap menjalankannya. Maka, yang dipanggil orang beriman. Maknanya berarti, level keimanan lebih tinggi dari keislaman,” terang Buya Syakur dalam salah satu ceramahnya yang diunggah dalam video kanal YouTube KH. Buya Syakur Yasin MA.

Bacaan Lainnya

“Orang yang beriman sudah tentu berislam; tetapi orang yang berislam belum tentu beriman,” tambahnya.

Buya Syakur menjelaskan tentang kondisi yang disebut “berislam tapi belum beriman”. Seorang bisa dosebut muslim itu, kata Buya, adalah yang sudah shalat, sudah zakat, sudah haji, sudah puasa. Ketika dia sudah mengerjakan semua syariat tersebut, “Sudah sah disebut Islam,” kata Buya Syakur. “Tetapi, apakah mukmin? Belum tentu,” Buya melanjutkan.

Menurut Buya Syakur, seorang muslim memang telah menjalankan syariat. tetapi belum tentu hatinya benar-benar beriman. Maka dari itulah, menurut Buya Syakur, hendaknya setiap umat muslim meningkatkan keyakinannya agar bisa sampai pada level keimanan seorang mukmin.

Allah memanggil orang mukmin karena, menurut Buya Syakur, puasa merupakan ibadah yang langsung terikat dengan Allah, tanpa intervensi siapa pun.

Ibadah ini beda dengan shalat, yang jika ingin mendapatkan pahala lebih besar harus berjamaah. Tidak demikian dengan puasa. Besar kecilnya pahala puasa, menurut Buya Syakur, tergantung bagaimana cara seseorang menjalankannya dengan keimanan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *