Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB 30 September 1960 yang mengenalkan Pancasila ke dunia kini diusulkan jadi materi kurikulum nasional, agar generasi muda memahami warisan besar Indonesia.
Suasana hening berubah khidmat di Situs Persada Soekarno Ndalem Pojok, Kediri, saat puluhan tokoh masyarakat, pegiat sejarah, dan aktivis kebudayaan berkumpul mengenang pidato bersejarah Bung Karno di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 September 1960.
Lebih dari enam dekade silam, Presiden pertama RI itu memperkenalkan Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai ideologi universal bagi perdamaian umat manusia. Pidato tersebut mendapat sambutan luas hingga UNESCO menetapkannya sebagai Memory of the World pada 2023.
Kini, dari Kediri muncul usulan agar momen monumental itu diajarkan dalam kurikulum pendidikan nasional.
“Generasi muda harus tahu bahwa Pancasila pernah mendunia, menjadi solusi yang ditawarkan Indonesia bagi perdamaian dunia,” kata Budiono, tokoh komunitas, dalam acara Tasyakuran Pancasila Menggema di PBB 30 September 1960, Senin malam.
Diskusi kebangsaan menghadirkan Juwaini (mantan anggota Dewan Kesenian Kabupaten Kediri), Kushartono (Ketua Harian Situs Persada Soekarno), dan Darmini (aktivis perempuan). Sejarawan dan penulis buku-buku Bung Karno, Roso Daras, tampil sebagai pembicara utama.
Para tokoh sepakat, sejarah besar ini harus dikenalkan ke generasi muda bukan hanya lewat buku sejarah, tetapi juga melalui pendidikan formal.
“Kami yakin jika sejarah Pancasila di PBB masuk kurikulum, anak-anak akan memahami betapa besarnya kontribusi Indonesia bagi dunia,” ujar Sikan Abdillah, tokoh masyarakat lain.
Sedangkan Kushartono menegaskan urgensi penguatan Pancasila di sekolah, mengingat survei Satara Institute menemukan 83,3% pelajar SMA menilai Pancasila bukan ideologi final
“Maka generasi muda perlu dibekali pengetahuan sejarah yang membanggakan, agar mereka punya rasa bangga terhadap bangsa dan negaranya,” katanya.
Juwaini menambahkan, nilai Pancasila bersifat universal: ketuhanan, kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi, dan kebangsaan. Sementara Darmini mengingatkan, Pancasila hanya bisa hidup lewat teladan. “Yang lebih penting adalah keteladanan. Bangsa ini butuh pemimpin yang benar-benar mengayomi rakyatnya,” ujarnya.
Acara ditutup doa lintas agama, selamatan, dan santunan bagi anak yatim dan fakir miskin. Doa khusus juga dipanjatkan bagi para pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa Gerakan 1 Oktober 1965 atau Gestok.
Dari Kediri, suara itu bergema: pidato Bung Karno di PBB bukan sekadar kenangan, melainkan warisan yang patut diwariskan kepada generasi bangsa.***





