Monumen Patung Dirgantara—yang lebih dikenal dengan Patung Pancoran—berdiri gagah namun menyimpan luka. Patung ini dibangun oleh Presiden Sukarno, terinspirasi oleh monumen-monumen penyemangat yang banyak berdiri di Uni Soviet. Monumen warisan terakhir Bung Karno ini dibangun untuk menggelorakan semangat kedirgantaraan Indonesia, yang sayangnya terabaikan oleh semua rezim pasca-Sukarno.
Patung Pancoran—monumen setinggi 11 meter itu—berbentuk seorang pria yang menunjuk ke arah utara, tepatnya ke arah Bandar Udara Kemayoran—bandara pertama di Jakarta. Pada masa Sukarno, Bandara Kemayoran menjadi pintu gerbang Indonesia yang melayani seluruh rute penerbangan domestik dan internasional.
Patung dengan konsep “manusia angkasa” tersebut berdiri megah di Jl. Gatot Subroto, di perempatan Pancoran yang membatasi Perdatam dengan Tebet, Jakarta Selatan. Persisnya di depan Kompleks Wisma Aldiron Dirgantara—yang dulu menjadi Markas Besar TNI Angkatan Udara.
Patung ini digagas oleh Presiden Sukarno setelah dia terinspirasi oleh apa yang dilakukan oleh kosmonot Uni Soviet, Yuri Gagarin. Sukarno mengagumi Uni Soviet karena dinilainya unggul dalam bidang teknologi angkasa luar. Dia ingin agar Indonesia memiliki industri aeronautika yang maju layaknya Soviet.
Patung Dirgantara menggambarkan kejayaan negara di bidang penerbangan. Sukarno bermaksud menghadirkan citra dunia dirgantara Indonesia yang perkasa di mata dunia. Maka dari itulah patung ini berbentuk sesosok manusia—lebih tepatnya manusia angkasa”—yang perkasa, berdiri di atas tugu melengkung. Maksud dari desain tersebut untukmenunjukkan semangat dan keberanian bangsa Indonesia yang berdasar pada kejujuran, keberanian, dan semangat mengabdi.
Sukarno bahkan turut membiayai pembangunannya dengan uang pribadi. Sayangnya, Bung Karno tidak sempat melihat warisan terakhirnya itu selesai karena lebih dulu wafat sebelum intalasi patungnya tuntas.