Gede Pasek Suardika (GPS), anggota Tim Penasihat Hukum MSAT alias Mas Bechi membacakan pledooi setebal 438 halaman, berjudul Ketika Pelakor Menjadi Pelapor pada sidang ke-26 kasus pelecehan seksual yang didakwakan kepada putra Kiai Muchtar Mu’thi, Pengasuh Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Ploso, Jombang tersebut. Pledooi secara tandas dan gamblang membabar fakta-fakta persidangan, dari A – Z.
————————–
Terkait spil–spil informasi fakta persidangan, sila selancar di kanal-kanal berita online atau cetak. Saran saya: sebaiknya adil, kritis, cerdas dan cover both sides sejak dalam pikiran dalam menganalisa kasus “atraktif” ini. Jangan terhipnotis sama fitnah dan hoax yang dibikin oleh pembenci, disebarkan orang yang kurang pintar, dan dipercayai kebenarannya oleh orang- orang-orang yang kadung pede dengan kekurangpintarannya.
Senin (10/10/2022), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Mas Bechi dengan pasal berlapis, yakni pasal 285 juncto pasal 65 ayat 1 KUHP tentang Pemerkosaan. Mas Bechi dituntut hukuman 16 tahun penjara. Pada sidang 31 Oktober 2022, Tim Penasihat Hukum (PH) Mas Bechi membacakan duplik setebal 153 halaman, yang menjabarkan 70 kejanggalan yang mereka temukan dalam dakwaan. Putusan akan dibacakan pada 17 November 2022.
Mana yang bakal ‘di atas angin’ pada akhir cerita nanti? Keyakinan JPU atau Tim PH? Bagaimana jika ada pihak-pihak yang tidak puas? Mungkin saat itulah perlu ditempuh sebuah gagasan nakal, cerdas, sekaligus berani: Eksaminasi publik!
Belajarlah Eksaminasi Sampai Negeri Belanda
Di Belanda, begitu putusan pengadilan inkracht, umumnya putusan tersebut diberikan secara online pada perguruan tinggi ternama, untuk dilakukan eksaminasi publik—atau dikenal dengan legal annotation. Putusan hakim akan diteliti oleh fakultas hukum yang kredibel dalam bentuk anotasi atau catatan.
Anotasi adalah komentar hukum terhadap putusan pengadilan, putusan hakim, atau pengadilan dalam jurnal yurisprudensi, seperti Jurisprudensi Belanda, Hukum Administratif Algemene Bepalingen (AB), JAR atau Panduan Praktik. Hal ini dilakukan oleh anotator, biasanya spesialis independen atau profesor yang telah memperoleh kepakaran dalam bidang hukum tertentu. Guru Besar di Belanda diwajibkan untuk membuat anotasi putusan hakim. Bahkan, anotasi tersebut lebih dijadikan pedoman dibandingkan peraturan perundangan-undangan di Belanda untuk kasus yang mirip.
Sejarah hukum Indonesia sendiri pernah mencatat beberapa eksaminasi publik terhadap putusan peradilan di Indonesia, antara lain:





