KH. Bisri Syansuri adalah ulama yang sangat berhati-hati dalam urusan hukum agama atau fikih. Dia konsisten menerapkannya dalam berbagai persoalan, termasuk di bidang politik. Berbekal keteguhan terhadap fikih itulah Mbah Bisri berjuang mempertahankan kehormatan Islam dan Indonesia Raya.
Fikih seolah sudah menjadi jalan hidup bagi tandem KH. Wahab Chasbullah di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) tersebut.Mbah Bisri menerapkan fikih pada semua hal: pergaulan sosial, mengajar di pesantren, bermusyarah dengan masyarakat, termasuk dalam berpolitik.
Saking setianya Mbah Bisri terhadap fikih, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pun menyebut kakeknya itu sebagai “pecinta fikih sepanjang hayat”.
Fikih Mbah Bisri adalah fikih ihtiyat nan wirai atau berhati-hati dalam menentukan hukum. Keluasan pengetahuan fikihnya digunakan untuk mengambil keputusan hukum dengan sangat berhati-hati. Namun demikian, ketika keputusan sudah diambil, Mbah Bisri menerapkannya sangat lentur untuk masyarakat awam.
Salah satu bukti “kesetiaan” Mbah Bisri terhadap fikih tampak ketika putranya, Kiai Achmad Ahoillah, meninggal dunia. Mbah Bisri masygul. Ada yang yang menyita perhatiannya. Dia teringat jika almarhum anak keduanya itu pernah berutang kepada seorang santri dari Lasem, Jawa Tengah, ketika zaman penjajahan Belanda. Si pemberi utang bahkan malah mungkin sudah lupa.
Mbah Bisri ingat jika putranya itu mencatat utangnya di sampul sebuah kitab. Disuruhlah orang mencari kitab itu sampai ketemu. Dan berhasil.
Ternyata, utang almarhum hanya beberapa sen gulden. Jumlah yang termasuk remeh temeh. Mbah Bisri pun memerintahkan orang untuk mengkurskannya ke dalam rupiah. Namun, setelah dirupiahkan, jumlahnya menjadi besar, mencapai ratusan ribu rupiah. Namun demikian, jumlah tersebut tetap dibayarkan. Demi menghapus beban almarhum putranya.