Kretek bukan sekadar rokok. Ia pernah jadi bahan bakar perjuangan: mendanai gerakan, menyamarkan pejuang, hingga jadi senjata diplomasi Agus Salim di hadapan Pangeran Philip.
Industri kretek di Indonesia sering dipandang hanya dari sisi ekonomi—pajak, lapangan kerja, dan ekspor. Padahal, catatan sejarah menunjukkan bahwa kretek punya peran besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Sejarawan S. Margana mencatat Nitisemito, Raja Kretek dari Kudus, sebagai donatur perjuangan Bung Karno. Kedekatan mereka tercermin saat nama Nitisemito disebut Sukarno dalam sidang BPUPKI.
Kudus menjadi pusat industri kretek sekaligus basis pergerakan nasional. Beberapa tokoh Muhammadiyah dan NU di Kudus, seperti H. Asikin, H.M. Abdul Kadir, K.H. Asnawie, dan Haji Djoevri, aktif dalam dunia kretek.
Di Yogyakarta, Haji Fachrodin mendirikan pabrik kretek Tjap Merak, menjual rokok murah sembari menopang gerakan lewat dana dan jaringan informasi. Pabrik-pabrik ini bahkan berubah fungsi menjadi markas perjuangan, tempat relawan, hingga persembunyian pejuang di masa agresi militer.
Dukungan pengusaha kretek juga meluas di luar Kudus. KH. Abdul Mu’ti dari Jombang, guru Sukarno muda, dikenal sebagai “dokter tembakau” yang mendukung Sarekat Islam. Di Malang, pengusaha Tionghoa Ong Hok Liong menyediakan logistik bagi gerilyawan. Solidaritas lintas etnis ini menegaskan bahwa kretek menjadi pengikat perjuangan bersama demi republik.
Kisah paling terkenal datang dari London pada 1953, ketika Agus Salim menyalakan sebatang kretek di hadapan Pangeran Philip dalam jamuan kenegaraan. Protes Philip dijawab diplomatis: aroma kretek itulah yang dulu menarik pelaut Eropa datang ke Nusantara. Sejarah ini membuktikan kretek bukan sekadar komoditas, tetapi simbol nasionalisme yang membiayai perjuangan, melindungi pejuang, hingga menjaga martabat bangsa di forum internasional.
Selengkapnya di kosongsatu.id





