Persoalan pajak—yang sekarang sedang ramai diperbincangkan publik gegara sebagian pejabat dan staf Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terindikasi memiliki kekayaan di luar kewajaran—pernah menjadi isu penting dalam agenda Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama’ (NU), 14-18 September 2012 di Pesantren Kempek, Palimanan Cirebon. Salah satu rekomendasi Munas tersebut adalah ancaman moral wacana pembangkangan sipil atau civil disobedience dalam bentuk boikot pajak jika pajak tidak dikelola secara amanah, transparan, dan tepat sasaran.
Pada Selasa, 28 Februari 2023, Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj menyatakan akan mengajak warga Nahdliyin untuk tidak membayar pajak apabila ternyata uang pajak yang dibayarkan oleh rakyat terbukti diselewengkan oleh para pejabat pajak.
Peringatan Kiai Said ini untuk merespons adanya indikasi kejanggalan dalam laporan harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak (DJP), ayah dari Mario Dandy Satriyo (20) tersangka kasus penganiayaan terhadap David (17). “Kalau memang pajak uang diselewengkan, ulama ini akan mengajak warga tak usah membayar pajak,” kata Kiai Said usai membesuk David di RS Mayapada, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa, 28 Februari 2023.
Ulama yang akrab disapa Kang Said itu menambahkan, peringatan ini juga pernah dia sampaikan saat munculnya kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Ketika itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY bahkan sampai mengirim utusan.
“Sampai-sampai Pak SBY kirim utusan pribadi almarhum Pak Yusuf namanya stafsusnya itu menemui saya. Saya bilang kalau memang itu berdasarkan referensi kitab kuning, para imam, para ulama referensi, kalau pajak masih diselewengkan, warga NU akan diajak oleh para kiai-kiai tidak usah bayar pajak. Tapi kalau pajak untuk rakyat, pajak untuk pembangunan, pajak untuk kebaikan, kita dukung. Warga NU taat bayar pajak,” ungkapnya.
Sebagai informasi, diskursus ancaman boikot bayar pajak ini sempat muncul dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU pada 14-18 September 2012 di Pesantren Kempek, Palimanan Cirebon, ketika Kiai Said masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU.
Menurut para ulama, pembahasan soal pajak ini termasuk dalam tema waqi’iyah atau isu-isu kekinian—selain soal hukum pilkada langsung, hukuman mati bagi koruptor, hukum anak di luar nikah, hukum ekonomi rakyat, dan hukum pematokan keuntungan saham BUMN.
Munas dan Konbes NU 2012 tersebut juga membahas tema-tema mauduiyah yang berkenaan dengan rujukan dasar, seperti konsep negara, hukum bentuk negara, kekayaan negara, pengalihan kekayaan negara, dan warga negara. Juga tema qanuniyah yang berkaitan dengan perundang-undangan. Beberapa UU yang kala itu dibahas dari segi Islam adalah korelasi UU BI, UU Penanaman Modal Asing, UU Air, UU Migas, dan UUD 1945 yang terkait dengan kesejahteraan rakyat.
Langkah berani NU mempersoalkan kewajiban membayar pajak dalam forum Munas dan Konbes NU 2012 itu bukan untuk mengajak masyarakat membangkang, melainkan sebagai peringatan agar negara serius membenahi sektor perpajakan. Kewajiban membayar pajak dipermasalahkan NU, terkait dengan terungkapnya berbagai kasus penyelewengan dan korupsi di sektor perpajakan.
Bagi ulama NU, pajak bukan kewajiban yang disyariatkan agama sebagaimana zakat, melainkan bagian dari kewajiban untuk taat kepada pemerintah (ulil amri), termasuk taat terhadap aturan yang dibuat. Secara syariat memang tidak ada kewajiban untuk membayar pajak. Kewajiban ini hanya kewajiban bernegara yang tidak sampai ke ranah dosa jika tidak membayarnya. NU tidak mempermasalahkan kewajiban membayar pajak, selama pengelolaan pajak dilakukan dengan amanah. Namun, jika terbukti tidak amanah, maka kewajiban itu dianggap perlu ditinjau ulang.
“Persoalan pajak merupakan kepedulian organisasi NU dalam merespon isu-isu strategis yang terkait dengan kebijakan atau negara. Forum Munas ini dapat fokus pada isu-isu strategis negara. Keputusan tentang pajak sangat penting, untuk kebaikan bersama, antara negara dan warganya,” kata KH. Said Aqil Siraj, yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU (PBNU).
“Jadi, ini peringatan keras agar perpajakan dibenahi secara sungguh-sungguh. NU ingin agar pajak yang dikumpulkan dari rakyat dikelola dengan amanah dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan rakyat, korupsi yang terjadi di perpajakan dihilangkan, dan praktik pengemplangan pajak ditindak dengan tegas,” tegas Kiai Said.
Ulama yang akrab disapa Kang Said itu menambahkan, jika semua dijalankan, NU pasti mendukung aturan yang mewajibkan pembayaran pajak, bahkan mendorong kalangan nahdliyin agar tidak lalai membayar pajak. “Kalau tidak dibenahi dengan sungguh-sungguh, kita akan benar-benar menyerukan moratorium, paling tidak kepada warga NU. Bukan berarti NU mengajak untuk membangkang kepada negara, tetapi ini adalah peringatan agar pemerintah memaksimalkan transparansi pajak,” tandasnya.