Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir alias ET sepertinya telah membuat blunder yang bisa dibilang fatal.
Kita semua tentu ingat bagaimana ET dengan gagah dan percaya diri mengampanyekan misi bakal mendekorasi ulang wajah sepakbola nasional pasca-Tragedi Kanjuruhan, begitu terpilih sebagai Ketum PSSI. Untuk itu, sukses menggelar event Piala Dunia U-20 jelas merupakan pertaruhan untuknya. Namun, di sisi lain, keterikatan ET terhadap janjinya malah menjadi bumerang yang kembali ke wajahnya sendiri: ketika sebagai Ketum PSSI dia gagal membaca peta geopolitik dan psikologi Indonesia terkait relasi dengan Israel.
ET sepertinya tidak berusaha melakukan lobi—di mana lobying, kabarnya, adalah keahlian terbaiknya—terkait keikutsertaan Tim Nasional (Timnas) Sepakbola Israel dalam gelaran Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia. Dus, Israel tetap resmi terdaftar sebagai peserta, dan FIFA jelas membolehkannya datang ke Indonesia. Dus lagi, momentum itu pun bikin geger nasional. Banyak tokoh dan institusi di negara ini yang menolak kehadiran timnas sepakbola negaranya Benjamin Netanyahu.
Alasan penolakan itu tak main-main. Ini bukan emosional sesaat. Ini bukan “cuma” urusan politik. Ini soal komitmen kebangsaan yang lugas tercantum dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Indonesia tegas berkomitmen menentang segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini, sementara Israel melakukan itu sudah sejak lama sekali.
Sejarah masih jelas mencatat bagaimana Indonesia tidak pernah mengakui eksistensi negara Israel. Sejak zaman Sukarno, Indonesia tidak pernah menjalin hubungan diplomatik dengan negara yang memproklamirkan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948 itu. “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” kata Sukarno dalam pidato pada tahun 1962.