Antraks merebak di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, akhir-akhir ini. Penyebabnya, selain karena perilaku masyarakatnya yang mengonsumsi daging ternak mati karena sakit, juga karena adanya penyebaran di beberapa wilayah tetangga Kabupaten Gunung Kidul. Antraks tidak menular antar-manusia.
Kasus penyakit antraks dilaporkan merebak di Dusun Jati, Candirejo, Semanu, Gunungkidul, DIY, setelah perayaan Hari Raya Kurban. Pemerintah kabupaten setempat menyebut ada 87 pasien positif terpapar berdasarkan tes serologi dan satu warga meninggal usai terjangkit antraks.
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul belum mengumumkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk antraks karena mengklaim bisa melokalisasi penyakit ini di Dusun Jati.
Padahal, mengacu ke Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1501 tahun 2010, status KLB antraks di sana semestinya sudah diterapkan sejak pertama merebak di Gunungkidul 2019 lalu.
Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) DIY Aniq Syihabuddin, Gunungkidul tidak secara tiba-tiba menjadi lokasi endemi. Menurut dia, penyakit ini sudah sejak dulu masuk ke DIY, seperti masuk di Sleman pada 2003, Kulon Progo dan Bantul 2017, serta pada 2019 muncul di Karangmojo, Gunungkidul.
“Jadi, sejarahnya (antraks) DIY tidak terlepas dari daerah sekitarnya juga. Dulu juga pernah di Boyolali, Wonogiri, itu juga sudah,” kata Aniq, dikutip Minggu, 9 Juli 2023.
Lalu lintas hewan ternak, menurut Aniq, ditengarai menjadi pemicu antraks di Gunungkidul. Sedangkan yang menjadi pemicu infeksi dari hewan ke manusia adalah sifat spora yang dihasilkan oleh bakteri pemicu antraks.
Aniq menerangkan, antraks bersifat zoonosis atau mampu menular dari hewan ke manusia, namun tidak untuk antarmanusia. Penularan dari hewan ini umumnya melalui kontak langsung, seperti bersentuhan dengan tubuh yang luka. Seseorang juga bisa terpapar jika menghirup spora antraks.
Sebagai informasi, di Gunungkidul, menyembelih dan mengonsumsi ternak mati—atau yang di sana biasa disebut “diporak”—ibarat kata sudah jadi kebiasaan masyarakat setempat. Proses penyembelihan hewan mati inilah yang kemudian diduga menjadi pintu masuk kemunculan spora.
Saat proses penyembelihan, darah ternak yang mengandung bakteri antraks mengucur ke tanah, lalu menjadi spora kala terpapar udara.
Spora sebagai sumber infeksi ini sangat resisten terhadap kondisi lingkungan dan bahan kimia tertentu serta mampu bertahan selama puluhan tahun di dalam atau permukaan tanah.
Spora yang tahan di tanah ini, ketika masuk ke dalam tubuh ternak melalui makanan atau minuman, akan menyebabkan infeksi. Masyarakat yang mengonsumsi ternak mati karena antraks ini berpotensi terkontaminasi juga.
“Kalau di daerah lain, mungkin kalau hewan mati ya sudah, dikubur. Tapi, kalau di Gunungkidul, ya diporak itu tadi, mengonsumsi bangkai yang sudah terinfeksi antraks,” papar Aniq.
Aniq menyebut pemerintah daerah setempat dan provinsi juga sudah tak kurang-kurang dalam menangani penyebaran antraks.
Oleh karena itu, kata Aniq, ke depan pihaknya menyarankan agar jangkauan vaksinasi hewan ternak semestinya diperluas demi antisipasi penyebaran antraks terjadi lagi. Selain itu, juga dilakukan disinfeksi kandang atau lingkungan sekitar ternak secara rutin merata ke seluruh wilayah, termasuk sosialisasi kepada masyarakat agar tak mengonsumsi hewan mati karena sakit.
Masyarakat juga harus patuh larangan mengonsumsi hewan mati untuk memutus mata rantai penyebaran antraks ini. Aniq turut menyarankan para peternak mengganti model beternak yang lebih higienis. Salah satunya dengan beralih ke kandang tipe beton.