Situs Ndalem Pojok Kediri berupaya meluruskan sejarah 30 September dengan menggelar Tasyakuran Pancasila Menggema di PBB—momentum di mana pidato Bung Karno dianggap sebagai “proklamasi kedua” Indonesia.
Dusun Krapyak, Desa Pojok, Wates, Kediri, bakal ramai pada 30 September ini. Situs Ndalem Pojok Persada Sukarno, rumah masa kecil Presiden pertama RI, akan menggelar “Tasyakuran Pancasila Menggema di PBB 30 September 1960” dan penobatan Sukarno sebagai Pahlawan Asia Afrika.
Kushartono, Ketua Harian Situs Ndalem Pojok, menegaskan acara ini digelar untuk meluruskan persepsi publik tentang tanggal 30 September. “Itu hari bahagia, bukan hari duka. Hari di mana Pancasila dikumandangkan ke dunia internasional,” katanya, Senin (29/9).
Menurut Kus, jika tidak diluruskan, generasi mendatang bisa kehilangan momen penting dalam sejarah bangsa. “Pada 30 September 1960, Bung Karno berpidato di PBB, menawarkan Pancasila sebagai jalan membangun dunia baru. Jasmerah. Maka ini harus kita rayakan,” ujarnya.
Acara tasyakuran ini bukan sekadar seremonial. Bagi pengelola Ndalem Pojok, ini adalah bagian dari kampanye agar tanggal 30 September ditetapkan sebagai “Hari Bahagia Nasional”. Sebab, di podium PBB, Bung Karno memperdengarkan kepada dunia lima pilar Indonesia: kepercayaan kepada Tuhan, nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial.
Pidato itu, yang dikenal dengan judul To Build the World Anew, bergaung ke seantero dunia. Sukarno menyebut Pancasila 23 kali dalam teks pidato sepanjang 28 halaman. Bagi banyak orang, pidato ini terasa seperti ‘proklamasi kedua’, tapi untuk bangsa-bangsa Asia dan negara-negara dunia ketiga.
Sejarawan mencatat, pidato tersebut kemudian diakui UNESCO sebagai bagian dari Memory of the World pada Mei 2023, sejajar dengan arsip Gerakan Non-Blok dan Hikayat Aceh.
“Bung Karno ingin dunia percaya, dengan jiwa Pancasila yang memadukan Ketuhanan dan Kemanusiaan, semua yang panas bisa menjadi dingin, kacau menjadi tenang,” lanjut Kus.
Karena itu, Ndalem Pojok menegaskan, 30 September jangan hanya dikenang sebagai hari penuh luka akibat tragedi 1965. Lebih jauh dari itu, ia adalah momen kebanggaan: ketika Indonesia berbicara lantang di forum dunia, mengajukan Pancasila sebagai dasar perdamaian global.***





